Pages

Senin, 22 Juni 2009

Proses Ovulasi dan Konsepsi

image

Perhatikan video animasi ovulasi (keluarnya sel telur) dan fertilisasi (pembuahan sperma terhadap sel telur)

Unit 6 : Persalinan kala III

PANDUAN PENDIDIKAN PERINATAL

Unit 6 : PERSALINAN KALA III

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan Modul Persalinan Kala III ini, mahasiswa akan memiliki kemampuan untuk :

  1. Melakukan pernatalaksanaan persalinan kala III.
  2. Melakukan pemeriksaan plasenta.
  3. Menyebutkan berbagai observasi pada persalinan kala III
  4. Mencegah penularan HIV pada staf persalinan.
  5. Melakukan penatalaksanaan pada kala III memanjang.
  6. Melakukan penatalaksanaan retensio plasenta
  7. Menyebutkan berbagai penyebab perdarahan pasca persalinan.
  8. Melakukan penatalaksanaan pasien perdarahan pasca persalinan

PERSALINAN KALA III NORMAL

6.1 APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERSALINAN KALA III?

Persalinan kala III adalah tahapan persalinan setelah anak lahir sampai lahirnya seluruh plasenta dan selaput ketuban.

6.2 BERAPA LAMA PERSALINAN KALA III BERLANGSUNG?

Durasi normal dari persalinan kala III tergantung pada metode yang digunakan untuk melahirkan plasenta. Umumnya persalinan kala III berlangsung kurang dari 30 menit, sebagian besar berlangsung sekitar 2 – 5 menit.

6.3 APA YANG TERJADI PADA KALA III?

  1. Kontraksi uterus berlanjut meskipun tidak sesering pada kala II
  2. Uterus mengalami kontraksi dan mengecil sehingga plasenta terlepas.
  3. Plasenta diperas keluar dari segmen atas rahim menuju ke segmen bawah rahim sampai ke vagina dan akhirnya keluar dari jalan lahir.
  4. Kontraksi otot uterus menjepit pembuluh darah uterus sehingga perdarahan tidak berlanjut. Setelah itu, mekanisme pembekuan darah akan membantu mekanisme tersebut untuk menghentikan perdarahan uterus lebih lanjut.

6.4 MENGAPA PROSES PADA KALA III HARUS DIPERHATIKAN?

Komplikasi utama pada kala III adalah perdarahan hebat. Dengan demikian maka penatalaksanaan kala III yang tidak tepat akan membahayakan pasien. Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama kematian ibu bersalin di negara berkembang. .

KALA III ADALAH WAKTU KRITIS DALAM PERSALINAN SEHINGGA HARUS MENDAPATKAN PENATALAKSANAAN YANG TEPAT

6.5 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN KALA III?

Ada 2 cara penatalaksanaan kala III :

  • Metode aktif
  • Metode pasif

Untuk meminimalisir perdarahan pada kala III maka dianjurkan agar pada semua persalinan penatalaksanaan kala III sedapat mungkin menggunakan metode aktif; akan tetapi bidan praktek di rumah dapat menggunakan metode pasif.

6.6 APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENATALAKSANAAN AKTIF KALA III?

  1. Segera setelah anak lahir, dilakukan pemeriksaan palpasi untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan kembar
  2. Bila merupakan kehamilan tunggal, berikan oksitosin

3. Bila uterus berkontraksi, lakukan TARIKAN TALIPUSAT TERKENDALI :

  1. Pertahankan regangan talipusat dengan menahan talipusat pada klem.
  2. Tempatkan telapak tangan lain diatas simfisis pubis dan dorong uterus kearah atas.
    • *** Tarikan talipusat terkendali ini disebut juga metode Brandt Andrew.
  3. Separasi plasenta terjadi saat uterus kontraksi dan saat dilakukan tarikan talipusat terkendali, plasenta dilepaskan dari segmen bawah uterus.
  4. Bila separasi sudah terjadi, tarikan talipusat dilanjutkan sehingga plasenta lahir.
  5. Bila separasi tidak terjadi saat traksi terkendali pertama kali dilakukan, tunggu sampai terjadi kontraksi uterus berikutnya dan lakukan tarikan talipusat ulangan.

6.7 JENIS UTEROTONIK APA YANG DIGUNAKAN PADA KALA III?

Salah satu dari yang tersebut dibawah ini:

  1. Syntometrine. Diberikan secara intramuskuler setelah anak lahir. Sintometrin tersedia dalam kemasan ampul 1 ml yang mengandung 5 unit oksitosin dan 0.5 mg ergometrin maleat. Simpan ampul sehingga tidak terkena sinar matahari secara langsung dan dalam ruang pendingin.
  2. Oxytocin (Syntocinon ) 5 unit. Diberikan secara intramuskuler. Simpan dengan cara sama dengan sintometrin..

Oxytocin (Syntocinon) adalah obat pilihan.

6.8 BAGAIMANA MEKANISME AKTIVITAS DARI 2 JENIS KOMPONEN DALAM SINTOMETRIN?

  1. Oxytocin Menyebabkan kontraksi uterus fisiologik 3 – 5 menit setelah injeksi intramuskuler dan berlanjut sampai 1 – 3 jam.
  2. Ergometrine Menyebabkan kontraksi uterus yang bersifat tonik 2 – 5 menit setelah injeksi intramuskuler dan berlanjut sampai 3 jam.

6.9 APA KONTRANDIKASI PEMBERIAN SYNTOMETRIN?

Syntometrine mengandung ergometrine sehingga jangan digunakan pada :

  1. Penderita hipertensi. Ergometrine menyebabkan vasospasme sehingga akan meningkatkan tekanan darah.
  2. Penderita kelainan katub jantung. Kontraksi tonik uterus akan mendorong sejumlah besar darah kedalam sirkulasi dan ini dapat menyebabkan gagal jantung dan edema paru.

SEBELUM DIBERIKAN, PASTIKAN TIDAK ADA KONTRAINDIKASI PENGGUNAAN SYNTOMETRINE

6.10 JENIS UTEROTONIK APA YANG DAPAT DIGUNAKAN BILA TERDAPAT KONTRAINDIKASI PENGGUNAAN SYNTOMETRINE?

Oksitosin (Syntocinon) dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan sitometrin. Pemberian oksitosin secara intravena dengan 10 u Oksitosin dalam 200 ml cairan RL diberikan dengan tetesan 30 tetes permenit atau diberikan 5 u oksitosin secara intramuskuler.

6.11 BAGAIMANA MELAKUKAN PENATALAKSANAAN KALA III METODE PASIF?

  1. Setelah anak lahir, ditunggu adanya tanda-tanda separasi plasenta.
  2. Bila tanda separasi plasenta sudah terlihat, pasien diminta untuk meneran dan plasenta lahir dengan upaya ibu sendiri.
  3. Uterotonika diberikan setelah plasenta lahir.

6.12 APA TANDA-TANDA SEPARASI PLASENTA?

  1. Kontraksi uterus
  2. Fundus uteri naik oleh karena plasenta bergerak dari segmen atas uterus ke segmen bawah uterus
  3. Talipusat didepan vulva memanjang, ini dengan mudah terlihat dari turunnya klem yang dipasang pada talipusat.
  4. Sejumlah darah keluar dari vagina secara mendadak

Separasi plasenta dapat dipastikan dengan melakukan tekanan suprapubik. Bila pasenta sudah lepas maka tindakan diatas tidak akan menyebabkan talipusat tertarik kedalam vagina (tidak terjadi retraksi talipusat)

6.13 APA KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PELAKSANAAN PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA III DENGAN METODE AKTIF?

KEUNTUNGAN :

  1. Perdarahan pasca persalinan lebih sedikit
  2. Setiap penolong persalinan harus mampu melakukan metode persalinan kala III aktif oleh karena metode ini harus dikerjakan bila terjadi perdarahan banyak sebelum plasenta lahir atau bila separasi plasenta tidak dapat terjadi secara spontan.
  3. Oksitosin mungkin tak perlu digunakan untuk meningkatkan kontraksi uterus setelah plasenta lahir.

KERUGIAN:

  1. Penolong persalinan tak bisa meninggalkan pasien sehingga diperlukan asisten untuk memberikan obat oksitosik dan menolong anak yang baru dilahirkan.
  2. Bila tidak dilakukan secara benar maka resiko terjadinya retensio plasenta meningkat khususnya bila 2 kali kontraksi uterus yang terjadi tidak dimanfaatkan untuk melahirkan plasenta.
  3. Traksi talipusat secara berlebihan dapat menyebabkan talipusat putus atau terjadi inversio uteri khususnya bila dilakukan dengan cara yang salah (melakukan traksi saat tidak ada kontraksi uterus) atau tidak disertai dengan penekanan pada daerah suprasimfisis..

6.14 APA KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PELAKSANAAN PENATALAKANSANAAN PERSALINAN KALA III DENGAN METODE PASIF?

KEUNTUNGAN:

  1. Tidak membutuhkan asisten.
  2. Jarang terjadi retensio plasenta dibandingkan metode aktif.

KERUGIAN:

  1. Perdarahan lebih banyak dibaidng metode aktif.
  2. Terpaksa berubah ke METODE AKTIF bila:
    1. Terjadi perdarahan hebat sebelum plasenta lahir.
    2. Tidak terjadi separasi plasenta spontan

6.15 BILAMANA PERSALINAN KALA III DISELESAIKAN DENGAN METODE AKTIF DAN KAPAN DIGUNAKAN METODE PASIF?

Metode AKTIF :

  1. Bidan dan dokter yang bekerja di Rumah Sakit harus melakukan metode AKTIF oleh karena umumnya tersedia tenaga asisten dalam pertolongan persalinan.
  2. Metode AKTIF digunakan khususnya pada parturien resiko sedang dan resiko tinggi.

Metode PASIF

  1. Bidan yang bekerja sendirian terpaksa harus melakukan penatalaksanaan kala II secara pasif oleh karena umumnya dia bekerja sendirian..
  2. Metode ini aman digunakan pada sebagian besar kasus persalinan resiko rendah di klinik bersalin maupun rumah sakit..

Penolong persalinan harus menguasai metode aktif dan pasif dalam penatalaksanaan persalinan kala III

SEMUA PENOLONG PERSALINAN HARUS MAMPU MELAKUKAN PERTOLONGAN PERSALINAN KALA III DENGAN METODE AKTIF MAUPUN PASIF

6.16 BERAPA LAMA TANDA-TANDA SEPARASI PLASENTA DAPAT DITUNGGU PADA PERTOLONGAN PERSALINAN KALA IIII DENGAN METODE PASIF?

Bila tanda separasi plasenta belum terlihat sampai 30 menit maka harus disuntikkan oksitosin dan penatalaksanaan persalinan kala III dilakukan dengan metode aktif.

6.17 HARUSKAH TALIPUSAT DIBIARKAN BERDARAH TANPA PEMASANGAN KLEM SEBELUM PLASENTA DILAHIRKAN ATAU HARUSKAH DILAKUKAN PEMASANGAN KLEM TALIPUSAT?

  1. Pada persalinan gemelli, setelah anak pertama lahir pada talipusat harus dipasang klem agar tidak berdarah. Pada kembar identik dengan satu plasenta (plasenta monokorionik), janin kedua akan mati bila tidak dilakukan pemasangan klem talipusat setelah anak pertama lahir.
  2. Pada persalinan kehamilan tunggal dengan ibu golongan darah Rhesus Negatif (Rh negatif), talipusat dibiarkan tanpa dipasang klem setelah anak lahir. Tindakan ini dapat menurunkan resiko masuknya darah plasenta kedalam sirkulasi ibu sehingga terjadi sensitisasi, sebagai alternatif dapat diberikan anti D imunoglobulin pada ibu.
  3. Membiarkan talipusat tanpa pemasangan klem pada persalinan kala III dapat menurunkan volume plasma sehingga separasi plasenta dapat berlangsung lebih cepat. Umumnya disarankan agar tidak memasang klem talipusat pada kehamilan tunggal.

6.18 BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PEMERIKSAAN PLASENTA SETELAH DILAHIRKAN?

Harus dilakukan pemeriksaan pada semua plasenta yang dilahirkan :

  1. LENGKAP atau TIDAK LENGKAP
  2. Pastikan bahwa jumlah kotiledon dan selaput ketuban dalam keadaan lengkap:
    1. Selaput ketuban diperiksa dengan menggantung plasenta sedemikian rupa dengan memegang talipusat sehingga selaput ketuban tergantung kebawah. Anda dapat melihat lubang dimana janin dilahirkan dan periksalah apakah selaput ketuban tidak ada yang tertinggal?
    2. Kemudian plasenta ditahan dengan kedua telapak tangan dan selaput ketuban disisihkan untuk dapat memeriksa keadaan pars maternalis apakah tidak ada kotiledon yang tertinggaldidalam uterus.
  3. KELAINAN PLASENTA:
    1. Selaput ketuban yang keruh atau berbau. Keadaan ini terjadi pada korioamnionitis.
    2. Bekuan darah pada pars maternalis (hematoma retroplasenta) merupakan tanda dari solusio plasenta.
    3. Lokasi insersi talipusat (insersio vilamentosa)
    4. Plasenta bilobata
  4. UKURAN:
    • Berat plasenta sesuai dengan usia kehamilan dan umumnya adalah 1/6 berat janin yaitu 450 – 650 gram pada kehamilan aterm.
    • Bila plasenta sangat besar maka kemungkinan berikut harus dipikirkan :
      1. Plasenta yang besar dan edematous dijumpai pada sifilis kongenital.
      2. Plasenta yang besar dan pucat dijumpai pada penyakit hemolitik rhesus.
      3. Plasenta yang besar namun tidak disertai dengan kelainan lain sering dijumpai pada maternal diabetes.
    • Bila plasenta lebih ringan dari yang seharusnya sering dijumpai pada PJT – Pertumbuhan Janin Terhambat.
  5. TALIPUSAT
    • Didalam talipusat didapatkan 2 arteri dan 1 vena. Bila hanya dijumpai 1 arteri maka janin harus diperiksa lebih lanjut oleh karena sering menderita kelainan kongenital lain.
    • *** Infark plasenta dikenali dengan sebagian permukaan maternal yang keras dan pucat Bedakan dengan kalsifikasi pars maternalis yang sering merupakan gambaran normal.

SEMUA PLASENTA YANG DILAHIRKAN HARUS DIPERIKSA SECARA CERMAT

6.19 PENCATATAN APA YANG HARUS SELALU DIBUAT SELAMA DAN SETELAH PERSALINAN KALA IIII?

  1. Pencatatan tentang persalinan kala III:
    1. Lama kala III.
    2. Jumlah perdarahan
    3. Pengobatan yang diberikan
    4. Keadaan perineum (robekan jalan lahir)
  2. Pencatatan yang dibuat segera setelah plasenta lahir:
    1. Apakah kontraksi uterus berlangsung dengan baik?
    2. Apakah terjadi perdarahan hebat?
    3. Catatan singkat tentang reparasi perineum yang dilakukan.
    4. Frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu tubuh ibu.
    5. Apakah plasenta dan selaput ketuban lahir lengkap dan adakah kelainan?
  3. Pencatatan yang terjadi dalam waktu 1 jam setelah plasenta lahir:
    1. Selama waktu ini (kadang-kadang disebut sebagai persalinan kala IV) dilakukan pemeriksaan dan pencatatan tentang kontraksi uterus dan jumlah perdarahan Selama 1 jam pasien berada pada resiko mengalami perdarahan pasca persalinan.
    2. Bila kala III berlangsung normal dan observasi setelah itu juga berlangsung normal, maka frekuensi denyut nadi, tekanan darah diukur lagi dalam waktu 1 jam kemudian.
    3. Bila persalinan kala III berlangung normal, maka observasi dikerjakan setiap 15 menit sampai kondisi pasien normal dan setelah itu dilakukan pemeriksaan dan observasi selama 4 jam.

SELAMA 1 JAM PASCA PERSALINAN KALA III PERLU DIOBSERVASI APAKAH KONTRAKSI UTERUS BERLANGSUNG DENGAN BAIK DAN TIDAK ADA PERDARAHAN BERLEBIHAN

6.20 KAPAN SAATNYA ANAK DISERAHKAN PADA IBU UNTUK INISIASI ASI?

Segera setelah lahir, bila persalinan berlangsung normal dan anak terlihat sehat dan normal maka harus dilakukan inisiasi ASI. Rangsangan pada putting susu dapat menyebakan kontraksi uterus sehingga membantu separasi plasenta.

6.21 APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH STAF KAMAR BERSALIN UNTUK MENGHINDARI INFEKSI HIV SELAMA PERTOLONGAN PERSALINAN?

Semua parturien dianggap memiliki potensi untuk menularkan HIV. Virus HIV berada didalam darah, cairan ketuban dan jaringan plasenta. Kontaminasi melalui percikan ke mata, luka kecil di tangan atau tertusuk jarum suntik dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.

Dengan demikian , pada semua pertolongan persalinan harus dipatuhi aturan-aturan berkut ini :

    1. Penolong persalinan harus menggunakan sarung tangan, apron, pelindung muka dan kaca mata khusus
    2. Petugas pemberi resusitasi neonatus atau petugas kebersihan kamar bersalin harus menggunakan sarung tangan.
    3. Darah dalam talipusat harus dikosongkan sebelum memasang klem kedua. Tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya semburan darah saat pemotongan talipusat.
    4. Jarum suntik yang sudah terpakai harus ditutup dengan tutupnya dan segera dibuang kedalam wadah khusus.
    5. Saat melakukan perbaikan luka perineum, jarum harus dipegang dengan forsep dan jaringan dipegang dengan pinset.

PROSEDUR PENCEGAHAN INFEKSI TERHADAP HIV HARUS DILAKUKAN DENGAN BENAR OLEH SEMUA STAF KAMAR BERSALIN.

Jarum jahit harus dipegang dengan forsep dan segera disimpan ditempatnya setelah digunakan.

ABNORMALITAS PERSALINAN KALA III

6.22 APA YANG DIMAKSUD DENGAN KALA III MEMANJANG?

Bila plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit setelah anak lahir.

6.23 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN KALA III MEMANJANG?

  1. Bila penatalaksanaan kala III yang digunakan adalah metode aktif maka :
    1. Berikan infus 500 ml RL + 5 u Oksitosin.
    2. Setelah timbul kontraksi uterus, lahirkan plasenta dengan melakukan traksi talipusat terkendali.
  2. Bila menggunakan metode pasif dan tidak berhasil maka metode harus diubah ke metode aktif.

6.24 APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA DENGAN PENATALAKSANAAN KALA III MEMANJANG RUTIN PLASENTA MASIH BELUM DAPAT DILAHIRKAN?

Lakukan vaginal toucher:

  1. Bila plasenta atau bagian plasenta teraba dalam vagina atau pada segmen bawah uterus hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi separasi plasenta. Dengan satu tangan menarik talipusat dan tangan lain mendorong uterus keatas diharapkan dapat melahirkan plasenta.
  2. Bila plasenta atau bagian plasenta tidak teraba dalam vagina atau segmen bawah uterus dan hanya dapat meraba talipusat hal tersebut menunjukkan bahwa plasenta masih belum terlepas dan ditegakkan diagnosa RETENSIO PLASENTA.

6.25 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN RETENSIO PLASENTA?

  1. Lanjutkan pemberian infus oksitosin 500 ml RL + 5 u oksitosin dan pastikan dapat terjadi kontraksi uterus agar tidak terjadi perdarahan pasca persalinan.
  2. Di Rumah Sakit lakukan plasenta manuil
  3. Puasakan penderita

6.26 APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN?

  • Perdarahan lebih dari 500 ml setelah anak lahir.
  • Perdarahan hebat setelah anak lahir.

SEMUA KEJADIAN PERDARAHAN HEBAT SETELAH ANAK LAHIR HARUS DIANGGAP PERDARAHAN PASCA PERSALINAN DAN MENDAPATKAN PELAKSANAAN YANG SERUPA



6.27 APA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP PENDERITA HPP

Penataan tergantung apakah plasenta sudah lahir atau belum.

6.28 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN HPP BILA PLASENTA BELUM LAHIR?

  1. Bila penatalaksanaan kala III menggunakan metode aktif, maka harus segera diberikan infus 500 ml RL + 5 unit oksitosin agar uterus berkontraksi dengan baik. Bila uterus sudah berkontraksi, harus dilakukan usaha lain untuk melahirkan plasenta
  2. Bila penatalaksanaan kala III menggunakan metode pasif, maka diberikan infus oksitosin 5 u dalam RL 500 ml dan plasenta dilahirkan dengan tarikan talipusat terkendali (metode aktif)
  3. Bila usaha melahirkan plasenta masih belum membuahkan hasil maka sudah terjadi retensio plasenta dan dilakukan tindakan plasenta manuil.

6.29 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN PASIEN HPP BILA PLASENTA SUDAH LAHIR?

Keadaan ini adalah komplikasi persalinan berat yang diatasi dengan cepat dan tepat berdasarkan rencana penatalaksanaan yang jelas :

LANGKAH PERTAMA.

Masase fundus uteri untuk merangsang kontraksi uterus agar perdarahan segera berhenti.

LANGKAH KEDUA.

Segera lakukan pemasangan infuse oksitosin 5 u dalam RL 500 ml. Sekali lagi, pastikan bahwa kontraksi uterus dapat berlangsung dengan baik melalui tindakan masase fundus uteri.

Tindakan ini mutlak dilakukan tanpa memandang penyebab HPP.

LANGKAH KETIGA.

Kosongkan kandung kemih. Kandung kemih penuh akan mengganggu kontraksi uterus sehingga perdarahan akan terus terjadi.

LANGKAH KEEMPAT.

Tegakkan diagnosa HPP. 2 penyebab utama HPP harus dibedakan:

  • Perdarahan uterus akibat ATONIA UTERI.
  • Perdarahan akibat ROBEKAN JALAN LAHIR.

DUA PENYEBAB UTAMA HPP YAITU ATONIA UTERI DAN ROBEKAN JALAN LAHIR

HPP ADALAH KOMPLIKASI BERBAHAYA DAN HARUS DIATASI DENGAN RENCANA YANG TERPERINCI DAN JELAS

6.30 APAKAH GEJALA KLINIK ATONIA UTERI?

  1. Uterus atonik (konsistensi lunak), atau cenderung menjadi atonik setelah masa fundus uteri dan pemberian uterotonik.
  2. Perdarahan intermiten dan bergumpal-gumpal
  3. Saat dilakukan masase fundus uteri maka bersamaan dengan terjadinya kontraksi uterus keluar pula gumpalan darah dari vagina.

PERDARAHAN AKIBAT ATONIA UTERI BERSIFAT EPISODIK DAN BERUPA GUMPALAN BEKUAN DARAH MERAH KEHITAMAN

6.31 APA PENYEBAB ATONIA UTERI?

  1. Uterus dipenuhi dengan gumpalan darah
  2. Kandung kemih penuh
  3. Sisa kotiledon
  4. Faktor antenatal tertentu (regangan rahim berlebihan):
    1. Bayi besar
    2. Hidramnion
    3. Kehamilan kembar
  5. Kala I memanjang.
  6. Oksitosin infuse pada persalinan kala I.
  7. Anaestesia umum.
  8. Grande multipara.
  9. Abruptio placentae.
  10. Pasca pemberian MgSO4 pada preeklampsia

PENYEBAB ATONIA UTERI YANG PALING UTAMA ADALAH UTERUS DIPENUHI DENGAN BEKUAN DARAH DAN KANDUNG KEMIH PENUH

6.32 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN HPP YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN BILA PENYEBABNYA DIDUGA ADALAH ATONIA UTERI?

  1. Masase fundus uteri, kosongkan kandung kemih, berikan methergin (bila tidak ada kontraindikasi) dan berikan infuse oksitosin 5 U dalam RL 500 ml.
  2. Bila masih belum terdapat kontraksi uterus, periksa kondisi plasenta (lengkap atau tidak)
  3. Bila plasenta tidak lengkap, persiapkan kuretase.
  4. Bila plasenta lengkap dan kontraksi uterus tidak baik :
    1. Lanjutkan pemberian uterotonika oksitosin per infus
    2. Ambil sample darah untuk persiapan tranfusi
    3. Kompresi bimanual : tangan kanan dikepalkan dan diletakkan pada fornix anterior, tangan kiri dari sisi luar mencekap fundus dan usahakan agar uterus berkontraksi dengan baik
    4. Baringkan pasien pada posisi datar atau semi trendelenburd dengan oksigen mask.
    5. Berikan cytotec 2 – 4 tablet per rektum

6.33 APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA KOTILEDON ATAU SELAPUT KETUBAN MASIH TERTINGGAL DALAM UTERUS TETAPI TIDAK TERJADI HPP?

  1. Selaput ketuban yang tertinggal umumnya tidak menyebabkan komplikasi
  2. Sisa kotiledon dapat menyebabkan HPP akibat adanya atonia dan harus dikeluarkan untuk mencegah komplikasi HPP sekunder.

6.34 APA YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENURUNKAN RESIKO HPP?

Pada pasien resiko tinggi HPP (kehamilan kembar, hidramnion, grandemultipara) hal-hal berikut harus dilakukan :

  • Pada fase aktif, pasang infus RL
  • Setelah plasenta lahir segera berikan infuse oksitosin
  • Pastikan uterus ber kontraksi dengan baik selama 1 jam pasca persalinan dan pastikan pasien sering mengosongkan kandung kemih.

6.35 APA TANDA KLINIK YANG MENUNJUKKAN BAHWA HPP DISEBABKAN OLEH ROBEKAN JALAN LAHIR?

  1. Kontraksi uterus baik
  2. Perdarahan merah segar dan terus mengalir

TANDA KLINIK HPP YANG DISEBABKAN OLEH ROBEKAN JALAN LAHIR ADALAH TERDAPAT PERDARAHAN MERAH SEGAR YANG TERJADI PADA UTERUS YANG BERKONTRAKSI DENGAN BAIK

6.36 PENATALAKSANAAN PADA KASUS HPP AKIBAT ROBEKAN JALAN LAHIR?

Pasien dibaringkan pada posisi lithotomi dan dilakukan pemeriksaan berikut:

  • Pertama, perineum diperiksa untuk memastikan lokasi robekan dan sumber perdarahan. Perbaiki semua robekan yang ada terutama yang menyebabkan perdarahan.
  • Setelah itu lakukan pemeriksaan vagina dengan membuka vagina menggunakan kedua ujung telunjuk. Robekan vagina harus dijahit.
  • Bila tidak ditemukan robekan perineum maupun vagina maka harus diperiksa lebih lanjut kemungkinan ruptura uteri.

6.37 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN PERDARAHAN YANG BERASAL DARI EPISOTOMI?

  • Perbaiki luka episiotomi dengan menjahit secara baik
  • Bila luka episiotomi sudah dijahit dan masih berdarah, bukalah jahitan tersebut dan jahit kembali dengan benar.

6.38 APA RESIKO TINGGI KEJADIAN ROBEKAN SERVIK DALAM PERSALINAN?

  • Pasien meneran saat dilatasi servik belum lengkap.
  • Partus presipitatus
  • Persalinan operatif per vaginam

6.39 BAGAIMANA ANDA DAPAT MENGENALI KEJADIAN INVERSIO UTERI?

  1. Dugaan inversio uteri adalah bila pasien mendadak syok pada kala III dan tanpa disertai perdarahan.
  2. Tidak teraba uterus pada palpasi abdomen.
  3. Uterus keluar dari vagina secara terbalik.
  4. Dapat terjadi saat plasenta belum lepas dari uterus

6.40 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN INVERSIO UTERI?

  1. Segera pasang dua buah infus untuk mengatasi renjatan yang terjadi.
  2. Bila kejadian ini terjadi di rumah bersalin maka segera persiapkan rujukan ke rumah sakit.

*** Gangguan pembekuan dapat menyebabkan terjadinya HPP. Gangguan pembekuan sering terjadi pada kasus perdarahan antepartum akibat solusio plasenta.

PROBLEMA KASUS

KASUS 1

Setelah berlangsungnya satu persalinan dimana kala I dan II berlangsung secara normal dan penatalaksanaan kala III menggunakan metode aktif. Selama pemeriksaan kehamilan diketahui bahwa bukan penderita hipertensi dan tidak memiliki kelainan jantung. Pada persalinan kala III diberikan injeksi sintometrin intra muskuler dan dilanjutkan dengan observasi tanda-tanda separasi plasenta.

1. Apakah dalam kasus ini terdapat kontra indikasi pemberian sintometrin ?

Tidak , tapi hendaknya dipastikan dulu apakah ini bukan peristiwa persalinan gemelli?

2. Apakah kala III ini ditangani dengan metode aktif yang benar?

Tidak. Plasenta harus dilahirkan saat ada kontraksi uterus dengan melakukan talipusat terkendali dan bukan hanya mengamati adanya tanda separasi plasenta.

3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan uterus untuk ber kontraksi setelah diberikannya sintometrin?

2 – 3 menit pasca pemberian

4. Apa yang harus dikerjakan bila kontraksi uterus muncul?

Dilakukan traksi talipusat dengan tangan kanan dan tangan kiri melakukan tekanan suprasimfisis untuk mendorong uterus keatas (traksi talipusat terkendali). Separasi dan persalinan plasenta terjadi saat kontraksi uterus.

5. Apa yang harus dikerjakan bila tidak terjadi separasi plasenta setelah kontraksi uterus pertama?

Kontraksi uterus berikut terjadi 5 – 6 menit setelah injeksi sintometrin intramuskuler. Setelah kontraksi uterus berikutnya terjadi, lakukan traksi talipusat terkendali kedua untuk mencoba melahirkan plasenta. Sebagian besar plasenta yang tidak lahir pada tarikan talipusat terkendali pertama akan lahir pada traksi talipusat terkendali berikutnya.

KASUS 2

Parturien kala I dan II normal ditolong oleh bidan di rumahnya. Kemungkinan adanya anak kedua disingkirkan melalui pemeriksaan palpasi abdomen dan penatalaksanaan kala II dikerjakan dengan metode pasif. Setelah 30 menit tidak ada tanda-tanda separasi plasenta. Ditegakkan diagnosa Retensio Plasenta dan direncanakan untuk merujuk parturien ke RS untuk tindakan berikutnya (plasenta manuil).

1. Apakah diagnosa Retensio Plasenta benar?

Salah. Diagnosa Retensio Plasenta hanya bisa ditegakkan bila penanganan kala III dilakukan dengan metode aktif. Diagnosis kasus ini adalah kala III memanjang.

2. Apa yang harus dilakukan pada kala III memanjang?

Plasenta dilahirkan dengan metode aktif yaitu dengan menyuntikan sintometrin dan melakukan tarikan talipusat terkendali setelah timbul kontraksi uterus.

3. Apa yang harus dilakukan pada kasus Retensio Plasenta yang terjadi di Rumah Bersalin?

Lakukan rujukan ke Rumah Sakit untuk tindakan plasenta manuil.

4. Kemungkinan komplikasi persalinan lain apa yang mungkin terjadi pada penderita ini?

Perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri

5. Pada kasus ini, bagaimana dapat melakukan rujukan ke rumah sakit secara aman?

Pasang infus RL 500 ml yang berisi 5 u oksitosin dan pastikan bahwa kontraksi uterus dapat terjadi dengan baik. Ukur tekanan darah dan nadi setiap 15 menit

KASUS 3

Pasien grandemultipara dengan persalinan kala I dan II berlangsung secara normal, plasenta dilahirkan dengan metode aktif. Tidak terdpat komplikasi persalinan. 1.5 jam kemudia diberitahukan bahwa pasien mengalami perdarahan hebat. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan syok.

1. Apakah penatalaksanaan persalinan kala III dilakukan dengan benar?

Salah. Mengingat bahwa parturien adalah kelompok resiko tinggi mengalami HPP (grandemultipara) maka pada kala I harus sudah dipasang infus. Setelah plaseta lahir diberikan RL 500 ml yang dicampur dengan 5 u Oksitosin. Pasien harus diawasi dengan baik selama 2 jam pasca persalinan (kala IV) untuk memastikan bahwa kontraksi uterus berlangsung dengan baik. Parturien tidak perlu mengalami syok bila observasi perdarahan

2. Apakah anda setuju bahwa langkah pertama dalam penanganan HPP adalah mengukur tekanan darah?

Tindakan diatas tidak sepenuhnya salah, mengingat bahwa mengetahui kondisi pasien adalah merupakan langkah penting sebelum melakukan tindakan yang berikutnya.

Langkah berikutnya yang dapat dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran tekana darah adalah masase fundus uteri untuk merangsang kontraksi uterus agar perdarahan berhenti.

3. Apa langkah berkutnya untuk pasien ini?

  • Berikan cairan infuse secara cepat untuk mengkoreksi renjatan hipovolemik
  • Berikan uterotonika berupa infuse oksitosin dan pastikan bahwa uterus ber kontraksi dengan baik
  • Keluarkan bekuan darah dari vagina dan uterus
  • Berikan cytotec perektal 2 tablet
  • Kosongkan kandung kemih.

4. Penatalaksanaan apa yang berikutnya harus dilakukan?

Mencari penyebab HPP. Ada 2 penyebab utama HPP : atonia uteri dan robekan jalan lahir.

5. Pada pasien ini apa kemungkinan besar penyebab HPP?

Pada pasien grandemultipara seringkali terjadi atonia uteri.

6. Apa tanda klinik Atonia Uteri?

  • Kontraksi uterus buruk dan dengan masase uterus cenderung segera relaksasi pasca kontraksi.
  • Perdarahan episodik dan berupa bekuan-bekuan darah.

KASUS 4

Primigravida dengan kala I yang sangat tidak kooperatif oleh karena seringkali menolak dilakukan VT pada saat yang ditentukan. Pada pemeriksaan diketahui dilatasi 7 cm dan pendataran 90%. 1 jam pasca persalinan ditemukan penderita terbaring diatas genangan darah dengan uterus berkontraksi dengan baik dan kandung kemih kosong.

1. Apa yang harus dilakukan pada pasien ini?

Pasang infus RL dan pastikan kontraksi uterus dalam keadaan baik.

2. Terlihat adanya darah segar yang mengalir cukup deras dari vagina, apa kemungkinan penyebab HPP?

Robekan jalan lahir.

3. Mengapa pasien ini tergolong resiko tinggi mengalami robekan jalan lahir?

Besar kemungkinan persalinan janin berlangsung saat dilatasi belum lengkap

4. Apa yang harus dilakukan?

Baringkan pasien pada posisi lithotomi dan lakukan eksplorasi jalan lahir.

5. Setelah melakukan eksplorasi ternyata tidak ditemukan adanya robekan jalan lahir. Bagaimana penatalaksanaan selanjutnya?

Lakukan pemeriksaan secara cermat, ada kemungkinan bahwa terjadi robekan servik akibat meneran saat dilatasi servik belum lengkap.


Review oleh : Dr. Bambang Widjanarko, SpOG

Akhir Juni 2009




Sabtu, 20 Juni 2009

Unit 5 : Observasi Dan Penatalaksanaan Kala I

PANDUAN PENDIDIKAN PERINATAL

Unit 5 :

Observasi & Penatalakasanaan Persalinan Kala I


TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan modul Observasi & Penatalaksanaan Persalinan Kala I ini mahasiswa akan memiliki kemampuan untuk :

  1. Melakukan observasi dan penatalaksanaan persalinan kala I.
  2. Menilai kemajuan proses persalinan secara tepat.
  3. Memahami arti penting dari garus waspada dan garis tindakan pada partogram.
  4. Mengenal abnormalitas pada kemajuan persalinan kala I.
  5. Secara sistematis dapat menentukan penyebab gangguan kemajuan persalinan.
  6. Melakukan penatalaksanaan abnormalitas kemajuan persalinan.
  7. Mengenal pasien dengan resiko tinggi mengalami prolapsus talipusat
  8. Melakukan penatalaksanaan kasus prolapsus talipusat


DIAGNOSA PERSALINAN

5.1 KAPAN SEORANG PASIEN DINYATAKAN INPARTU?

Pasien dinyatakan inpartu bila ada dua tanda berikut ini :

  1. Kontraksi uterus (HIS) teratur dengan sekurang-kurangnya terjadi 1 His dalam waktu 10 menit.
  2. Perubahan servik berupa pendataran dan atau dilatasi servik .

DUA FASE PADA PERSALINAN KALA I

Persalinan kala I dibagi menjadi dua fase :

  1. Fase laten
  2. Fase aktif.

5.2 APA YANG SAUDARA KETAHUI TENTANG PERSALINAN KALA I FASE LATEN ?

  • Fase laten dimulai pada awal persalinan dan berakhir pada dilatasi 3 cm. Pada primigravida, akhir fase laten ditandai dengan pendataran servik sempurna. Namun pada multipara, pada akhir fase laten servik belum mendatar sepenuhnya.
  • Dilatasi servik pada fase laten berlangsung perlahan. Biasanya fase laten berlangsung dalam waktu 8 jam.
  • Selama fase laten terjadi kemajuan frekuensi dan durasi his secara progresif.



clip_image003

5.3 APA YANG SAUDARA KETAHUI MENGENAI PERSALINAN KALA I FASE AKTIF?

  • Fase ini dimulai saat dilatasi servik mencapai 3 cm dan berakhir setelah dilatasi servik lengkap.
  • Selama fase aktif , dilatasi servik berlangsung semakin progresif.
  • Kecepatan dilatasi servik ± 1 cm per jam.

*** Pada multipara dilatasi servik rata-rata selama fase aktif kira-kira 1.5 cm per jam dan pada nulipara kira-kira 1 cm per jam. Dengan demikian maka batas terbawah kecepatan dilatasi servik yang diambil adalah 1 cm per jam..

Gambar PARTOGRAM



clip_image006


OBSERVASI PERSALINAN KALA I

5.4 APA YANG SAUDARA KETAHUI TENTANG PEMERIKSAAN FISIK SAAT PERSALINAN?

  • Observasi keadaan umum ibu dan anak secara rutin setiap jam termasuk mengamati kwalitas kontraksi uterus
  • Pemeriksaan abdomen secara cermat.
  • Pemeriksaan vaginal (vaginal toucher) secara cermat.

Semua hasil observasi dan pemeriksaan dicatat kedalam partogram. Semua temuan klinik yang abnormal harus diikuti dengan rencana penatalaksanaan lanjutan.

5.5 KAPAN SAUDARA MELAKUKAN PEMERIKSAAN FISIK PADA PASIEN YANG INPARTU?

  • Saat masuk kamar bersalin - MKB
  • Pada fase laten : 4 jam pasca MKB atau pasien mulai merasakan adanya sakit akibat his dan his yang mulai teratur.
  • Pada fase aktif : bila semua hasil pemeriksaan normal maka pemeriksaan dikerjakan setiap 4 jam. Bila terdapat gangguan kemajuan persalinan, penilaian ulang dikerjakan 2 jam kemudian.

Setelah melakukan pemeriksaan secara lengkap dan menentukan tingkat kemajuan persalinan, maka diambil keputusan untuk menentukan kapan saat penilaian berikutnya yang menyeluruh akan dilaksanakan. Rencana tersebut dicantumkan dengan memberi tanda panah kedalam partogram. Pada situasi tertentu jadwal rencana tersebut dapat dilakukan lebih cepat tetapi tidak boleh melebihi dari waktu yang sudah direncanakan.

5.6 BAGAIMANA CARA MELAKUKAN OBSERVASI KEMAJUAN PERSALINAN KALA I?

PARTOGRAM digunakan untuk pengamatan dan pencatatat kemajuan persalinan.

5.7 APA YANG DIMAKSUD DENGAN PARTOGRAM?

Partogram adalah lembar catatan yang dapat memperlihatkan kemajuan persalinan. sepanjang waktu. Semua hasil observasi keadaan ibu dan anak serta kemajuan persalinan merupakan data persalinan yang amat penting.

5.8 DISEBUT APA GARIS MIRING PERTAMA YANG DITEMUKAN DALAM PARTOGRAM ?

GARIS WASPADA yang menyatakan kecepatan dilatasi servik 1 cm per jam.

5.9 SEBUTKAN ARTI PENTING GARIS WASPADA?

Garis waspada menyatakan kemajuan dilatasi servik minimal yang masih dalam batas normal selama persalinan kala I fase aktif.

5.10 DISEBUT APAKAH GARIS MIRING KEDUA YANG DITEMUKAN DALAM PARTOGRAM?

Garis ini dinamakan GARIS TINDAKAN.

5.11 APA ARTI PENTING GARIS TINDAKAN?

  1. Terhadap parturien dengan dilatasi servik yang menyilang garis tindakan harus dilakukan penilaian ulang secara seksama. Bila hal ini terjadi diluar RS, maka parturien harus segera dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas persalinan yang lengkap.
  2. Bila dilatasi menyentuh atau menyilang garis tindakan maka itu berarti bahwa kemajuan persalinan berlangsung lambat dan harus diambil tindakan untuk mempercepat persalinan.


PENATALAKSANAAN PASIEN PADA PERSALINAN KALA I

FASE LATEN

Fase laten tidak boleh melebihi waktu 8 jam, dengan demikian maka diagnosa saat awal inpartu harus DIPERTIMBANGKAN secara hati-hati untuk menghindari keputusan dan tindakan yang berlebihan dan tidak perlu.

5.12 BAGAIMANAKAH PENATALAKSANAAN AWAL PERSALINAN KALA I FASE LATEN?

Bila pasien MKB pada awal persalinan dan pada pemeriksaan semua menunjukkan keadaan normal maka yang harus dilakukan adalah observasi rutin. Pemeriksaan ulangan dilakukan 4 jam kemudian atau lebih cepat bila parturien mengeluhkan his yang terasa nyeri dan mulai teratur. Pasien boleh makan minum seperti biasa dan disarankan untuk berjalan-jalan. Parturien mungkin masih belum perlu masuk kamar persalinan.

5.13 APA YANG HARUS DILAKUKAN PADA PEMERIKSAAN FISIK BERIKUTNYA?

Hal—hal berikut ini harus memperoleh penilaian :

  1. KONTRAKSI UTERUS : Bila his berhenti dan pasien tidak masuk kedalam fase persalinan lebih lanjut. Bila pada pemeriksaan lanjutan keadaan ibu dan anak baik maka pasien dapat dipulangkan. Namun bila his menjadi lebih sering dan regular maka harus dilakukan penilaian dilatasi servik.
  2. SERVIK UTERI :
    1. Bila tidak terjadi perubahan dilatasi dan pendataran servik maka mungkin parturien belum masuk ke proses persalinan yang sebenarnya. Bila yang bersangkutan mengeluhkan rasa nyeri maka dapat diberikan analgesik (Pethidine 100 mg dan promethazine/phenergan 25 mg) dan penilaian ulang dilakukan 4 jam kemudian.
    2. Bila terdapat kemajuan dalam hal dilatasi dan pendataran servik maka berarti pasien sudah masuk kedalam fase persalinan dan bila keadaan umum ibu dan anak baik maka penilaian ulang akan dilakukan 4 jam kemudian. Bila dilatasi servik sudah mencapai 3 cm maka pasien sudah kedalam fase laten.

5.14 APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA DALAM WAKTU JAM PERSALINAN BELUM MASUK FASE AKTIF?

  1. Pada kasus yang belum inpartu, kontraksi uterus mungkin berhenti. Bila selaput ketuban masih utuh dan tidak ada indikasi untuk melakukan induksi persalinan maka pasien boleh dipulangkan.
  2. Kontraksi uterus mungkin masih berlangsung. Dalam hal ini, penatalaksanaan lanjutan tergantung pada keadaan servik.
    1. Bila tidak ada kemajuan dilatasi dan atau pendataran servik, pasien mungkin belum inpartu. Penolong persalinan harus menentukan lebih lanjut apakan perlu melakukan induksi persalinan atau tidak.
    2. Bila terdapat kemajuan dilatasi dan atau pendataran servik, berarti pasien sudah inpartu. Bila kemajuan berlangsung lambat dan pasien masih dalam fase laten maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban.


PENATALAKSANAAN PADA PERSALINAN KALA I FASE AKTIF


Bila pasien MKB pada persalinan kala I fase aktif, mungkin persalinan berlangsung secara normal. Akan tetapi kemungkinan adanya CPD tetap harus dipikirkan, khususnya pada pasien yang tidak pernah melakukan pemeriksaa antenatal sebelumnya.

5.15 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN PARTURIEN DENGAN PERSALINAN NORMAL?

Bila keadaan umum ibu dan anak baik, tidak terdapat tanda-tanda CPD maka pemeriksaan lanjutan dikerjakan 4 jam kemudian. Dilatasi servik dicatat pada garis waspada partogram.

5.16 BAGAIMANA GAMBARAN KEMAJUAN PERSALINAN NORMAL SELAMA FASE AKTIF DALAM PARTOGRAM?

  1. Catatan dilatasi servik hasil dari beberapa VT berada disebelah kiri garis waspada, dengan katan lain kecepatan dilatasi berkisar 1 cm per jam.
  2. Terdapat kemajuan penurunan kepala. Hal ini dapat diketahui melalui palpasi abdomen perlimaan. Desensus kepala selama fase aktif pada multigravida biasanya berlangsung lebih lambat.

5.17 MENGAPA DASAR PENILAIAN KEMAJUAN KALA I FASE AKTIF ADALAH DILATASI SERVIK DAN DESENSUS KEPALA JANIN?

  1. Dilatasi servik tanpa disertai derajat desensus kepala tidak memperlihatkan progresivitas kemajuan persalinan.
  2. Bila his baik maka dilatasi servik dapat terjadi, bila pembentukan caput succadeneum dan molase bertambah tanpa disertai dengan pertambahan penurunan kepala sesuai dengan pemeriksaan perlimaan maka dalam keadaan ini tidak terjadi kemajuan persalinan oleh karena kepala tidak semakin maju.
  3. Penilaian stasion bagian terendah janin dari hasil VT juga dapat membuktikan TIDAK ADANYA KEMAJUAN DESENSUS dan TIDAK ADANYA KEMAJUAN PERSALINAN. Adanya caput succadenum menunjukkan bahwa seolah-olah terjadi pertambahan desensus kepala janin.

5.18 APA INDIKASI UNTUK MELAKUKAN VT LEBIH SERING DARI SETIAP 4 JAM PADA PERSALINAN KALA I FASE AKTIF?

  1. Dugaan CPD (VT dilakukan setiap 2 jam)
  2. Bila terbukti adanya hambatan kemajuan persalinan maka pemeriksaan ulangan dilakukan 2 jam kemudian.
  3. Bila dilatasi servik sudah mencapai 6 cm, jadwal penilaian pemeriksaan ulang adalah 4 jam kemudian. Namun bila ada tanda-tanda bahwa dilatasi servik sudah lengkap maka pemeriksaan dapat dilakukan lebih awal (kurang dari 2 jam).

5.19 KAPAN SAUDARA BOLEH MEMECAHKAN SELAPUT KETUBAN?

  1. Untuk mencegah penularan HIV transvaginal, amniotomi dikerjakan sedekat mungkin dengan persalinan. Jangan lakukan amniotomi pada fase aktif tanpa indikasi kuat. Selaput ketuban yang masih utuh dapat mencegah terjadi infeksi saat melakukan VT.
    1. Pada persalinan dengan progresivitas kemajuan yang baik jangan pecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap.
    2. Bila kemajuan proses persalinan tidak baik, dapat dilakukan amniotomi dan pemeriksaan ulangan dikerjakan 4 jam kemudian.
  2. Pada pasien inpartu dengan HIV negatif dan presentasi vertex (belakang kepala), amniotomi dikerjakan bila:
    1. Persalinan masuk fase aktif..
    2. Berdasarkan palpasi abdomen perlimaan, desensus sudah mencapai 3/5 atau kurang.
  3. Setelah melakukan pemecahan ketuban, periksalah sekeliling kepala untuk mencari kemungkinan adanya prolapsus talipusat.

*** Bila derajat desensus 4/5 atau lebih dan dilatasi 6 cm atau lebih maka lebih baik selaput ketuban dipecahkan daripada menunggu pecah spontan. Tindakan ini mencegah terjadinya prolapsus talipusat..

5.20 APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA KETUBAN PECAH SPONTAN PADA PERSALINAN KALA I?

  1. Bila palpasi perlimaan hasilnya 4/5 atau lebih atau pada presentasi sungsang maka keadaan ini merupakan resiko tinggi terjadinya prolapsus talipusat.
  2. Bila palpasi perlimaan hasilnya 3/5 atau kurang, kemungkinan terjadinya prolapus talipusat sangat kecil. Namun ausklutasi detik jantung janin harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gawat janin akibat prolapsus talipusat.

5.21 APA KEUNTUNGAN MELAKUKAN AMNIOTOMI?

  1. Amniotomi dapat mempercepat persalinan
  2. Amniotomi dapat mengetahui kwalitas cairan ketuban (warna dan bau cairan ketuban)
  3. Bila setelah amniotomi terjadi prolapsus talipusat maka ini harus cepat diketahui dan diberikan penatalaksanaan yang benar dan tepat.
  4. Pastikan bahwa persalinan sudah masuk fase aktif sebelum melakukan amniotomi.


GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN PADA KALA I


5.22. BAGAIMANA MENEGAKKAN DIAGNOSA GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN KALA I ?

Gangguan kemajuan persalinan terlihat bila partogram memperlihatkan adanya garis dilatasi servik menyilang garis waspada. Dengan demikian maka kecepatan dilatasi servik kurang dari 1 cm per jam.

5.23. APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA GRAFIK MEMPERLIHATKAN BAHWA DILATASI SERVIK MENYILANG GARIS WASPADA?

Harus dilakukan penilaian sistematik untuk menentukan penyebabnya.

5.24. BAGAIMANA MELAKUKAN PENILAIAN SISTEMATIK TERSEBUT ?

LANGKAH PERTAMA

Jawablah 2 pertanyyan berikut ini :

  1. Apakah pasien memang berada pada kala I fase aktif?
  2. Apakah ketuban sudah pecah?

Bila jawaban kedua pertanyaan diatas adalah ‘ya’, maka lanjutkan ke langkah berikutnya.

LANGKAH KEDUA.

Penyebab gangguan kemajuan persalinan ditentukan dengan melakukan pemeriksaan pasien menggunakan “rumus 5P”, yang dimaksud dengan rumus 5P adalah :

  1. Pasien ( keadaan umum )
  2. Power ( his atau kontraksi uterus ).
  3. Passenger ( janin ).
  4. Passage ( jalan lahir )
  5. Psychologi ( Sikap kooperatif pasien dan kompetensi penolong persalinan) .

5.25. SEBUTKAN MASALAH YANG TERMASUK "PASIEN" DAPAT MENYEBABKAN GANGGUAN KEMAJUAN PROSES PERSALINAN DAN BAGAIMANA PENATALAKSANAANNYA?

Beberapa faktor berikut dapat menyebabkan gangguan kemajuan persalinan:

  1. PASIEN MEMERLUKAN ANALGESIK: Pasien yang merasa sakit hebat khususnya yang berkaitan dengan rasa cemas akan mengalami hambatan kemajuan persalinan. Penghilang sakit (analgesik), dukungan emosional dan membangkitkan semangat merupakan faktor penting dalam kemajuan persalinan.
  2. KANDUNG KENCING PENUH: Kandung kencing penuh dapat menyebabkan obstruksi mekanis dan menekan aktivitas otot uterus. Pasien dianjurkan untuk buang air kecil atau bila perlu dapat dilakukan kateterisasi.
  3. PASIEN MENGALAMI DEHIDRASI: Dehidrasi diperlihatkan bila pasien mengeluh haus, produksi urine minimal dan ketonuria. Dehidrasi harus dicagah dan dikoreksi oleh karena dapat menghambat kemajuan persalinan. Dengan perawatan yang baik, pasien tidak perlu mengalami haus atau dehidrasi oleh karena pada fase laten pasien dianjurkan minum dan makan makanan cair. Bila terjadi dehidrasi maka rehidrasi harus dilakukan dengan memberikan cairan infuse RL : D5 = 2 : 2.

5.26. BAGAIMANA FAKTOR "POWER" DAPAT MENYEBABKAN GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN?

Pada kala I, "Powers" (his atau kontraksi otot uterus) dapat bersifat tidak adekwat atau tidak efektif. Pasien dengan kemajuan persalinan normal memiliki his yang efektif dan adekwat baik dalam hal durasi atau frekuensi kontraksi uterus

  1. KONTRAKSI UTERUS TIDAK ADEKWAT : dapat menyebabkan gangguan kemajuan persalinan yaitu yang berlangsung kurang dari 40 detik DAN ATAU frekuensi his kurang dari 2 kali setiap 10 menit.
  2. KONTRAKSI UTERUS TIDAK EFEKTIF : dengan His yang adekwat ternyata persalinan tidak berlangsung dengan baik meskipun tidak ada tanda CPD. Masalah ini biasanya hanya terjadi pada primigravida.

**** Diagnosa disfungsi kontraksi uterus ditegakkan bila kontraksi uterus yang adekwat tidak dapat menyebabkan berlangsungnya proses persalinan yang normal.

5.27. BAGAIMANA FAKTOR "PASSENGER" DAPAT MENYEBABKAN GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN DAN BAGAIMANA PENATALAKSANAANNYA?

Penyebab gangguan kemajuan persalinan dapat terletak pada faktor "passenger" (janin). Masalah ini dapat diketahui melalui pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan vagila toucher.

Pada pemeriksaan PALPASI ABDOMEN dapat diketahui masalah-masalah berikut ini :

  1. KELAINAN LETAK JANIN: Letak lintang, letak muka
  2. KELAINAN POSISI DAN PRESENTASI : posisi osipitalis posterior persisten, presentasi bokong merupakan keadaan yang dapat menyebabkan gangguan kemajuan persalinan .
    • *** Pada presentasi sungsang, persalinan per vaginam hanya boleh dilakukan bila kemajuan persalinan berlangsung secara normal
  3. BESAR JANIN: Janin besar (i.e. TBJ > 4 kg ), atau dengan tanda CPD (molase 2+) harus dilahirkan dengan SC.
  4. KEHAMILAN KEMBAR: Pada kehamilan kembar dapat terjadi gangguan kemajuan persalinan umumnya akibat his yang tidak adekwat.
  5. KEPALA JANIN TIDAK ENGAGE : Hasil pemeriksaan palpasi perlimaan harus dianalisa lebih lanjut :
    1. Engagemen terjadi bila hasil palpasi perlimaan adalah 2/5 atau kurang. Bila ini terjadi maka kemungkinan CPDdapat disingkirkan.
    2. Bila hasilnya 3/5 atau lebih dan disertai dengan molase 2+ , maka ini merupakan indikasi untuk SC.

PEMERIKSAAN ABDOMEN UNTUK MENENTUKAN LETAK DAN PRESENTASI JANIN DAN PALPASI PERLIMAAN HARUS DILAKUKAN SEBELUM MELAKUKAN PEMERIKSAAN VAGINAL (VAGINAL TOUCHER)

Pada pemeriksaan VAGINAL, faktor berikut harus dinilai oleh karena dapat menyebabkan gangguan kemajuan proses persalinan:

  1. BAGIAN TERENDAH JANIN (the presenting part is abnormal): Presentasi Vertex (occipital) atau presentasi belakang kepala merupakan presentasi yang paling sesuai agar proses persalinan dapat berlangsung secara normal..
  2. POSISI: Posisi oksiput depan (kiri atau kanan) adalah posisi terbaik agar persalinan dapat berlangsung secara normal. Persalinan dengan posisi lain (oksiput posterior kiri atau kanan) akan berlangsung lebih lama.
  3. TANDA-TANDA DISPROPORSI SEPALOPELVIK:
    1. Pemeriksaan VT mencakup pemeriksaan derajat pembentukan caput succadenum. Namun adanya caput tidak terlampau bermakna dalam menentukan ada tidaknya CPD. Terbentuknya caput biasanya disebabkan oleh karena pasien meneran saat dilatasi servik belum lengkap. .
    2. Pemeriksaan sutura digunakan untuk menentukan derajat molase. Molase 3+ adalah tanda pasti adanya CPD. Pada presentasi belakang kepala, dilakukan pemeriksaan sutura sagitalis dan sutura lambdoidea (osipito-parietal).
    3. Derajat penurunan (desensus) berdasarkan pemeriksaan VT dengan menentukan stasion tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat desensus atau kemajuan persalinan.

PENENTUAN STASION BAGIAN TERENDAH JANIN BERDASARKAN JARAK BAGIAN TERENDAH JANIN DENGAN LEVEL SPINA ISCHIADICA TIDAK LAGI DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENENTUKAN KEMAJUAN PERSALINAN SECARA AKURAT

5.28. BAGAIMANA FAKTOR "PASSAGE" DAPAT MENYEBABKAN GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN DAN BAGAIMANA PENATALAKSANAANNYA?

Beberapa masalah "Passage" berikut dapat menyebabkan gangguan kemajuan persalinan:

  1. APAKAH SELAPUT KETUBAN UTUH: Bila masih utuh, dilakukan amniotomi dan kemajuan oersalinan dinilai 4 jam berikutnya.
  2. PANGGUL SEMPIT: Hasil penilaian panggul ,enunjukkan adanya panggul sempit dan bila derajat molase 2+ maka kedua keadaan tersebut merupakan dasar untuk mengakhiri persalinan dengan melakukan SC..

5.29. SEBUTKAN 2 PENYEBAB UTAMA GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN !

  1. CEPHALOPELVIC DISPROPORTION: Bila tidak dikenali dan ditangani secara baik maka ini merupakan situasi yang berbahaya
  2. KONTRAKSI UTERUS TIDAK ADEKWAT: Penyebab gangguan kemajuan persalinan yang paling sering pada primigravida. Bila tidak ada kontrakindikasi maka penanganannya adalah dengan memperbaiki kontraksi uterus dengan infuse oksitosin.

5.30. APA YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH DILAKUKAN PENILAIAN SECARA SISTEMATIK TERHADAP PASIEN DENGAN GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN?

  1. Penolong persalinan harus menentukan apakah pasien diberikan oskitosin infus atau harus segera dirujuk ke RS.
  2. Penolong persalinan harus dapat menentukan apakah rencana persalinan normal masih dapat dilanjutkan dengan merencanakan evaluasi pada 2 atau 4 jam berikutnya.

*** Contoh berikut ini adalah beberapa keadaan yang dapat menyebabkan gangguan kemajuan persalinan dan penatalaksanaannya. :

Etiologi

Sikap

CPD Seksio sesar
Cemas akibat nyeri Beri semangat
Analgesik
Kontraksi uterus tidak adekwat Oksitosin drip
Posisi osiput posterior Analgesik
Infus RL
Kontraksi uterus tidak adekwat Analgesik dilanjutkan dengan infus oksitosin


DISPROPORSI SEPALOPELVIK


5.31. BAGAIMANA CARA MENGETAHUI BAHWA GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN DISEBABKAN OLEH CPD?

Berdasarkan temuan berikut ini:

  1. Palpasi abdomen : kepala belum engage ( palpasi perlimaan 3/5 atau lebih ).
  2. Pemeriksaan vaginal : Molase hebat ( molase 3+ ) .

Adanya CPD sudah dapat diperkirakan atau diketahui saat MKB. .

KEPALA YANG MASIH TINGGI (PALPASI PERLIMAAN 3/5 ATAU LEBIH) DAN MOLASE BERLEBIHAN ( 2+) PADA TAHAP PERSALINAN LANJUT MENUNJUKKAN ADANYA CPD.


5.32. APAKAH PADA KASUS CPD KECEPATAN DILATASI SERVIK SELALU KURANG DARI 1 CM PER JAM?

Bila terdapat CPD, biasanya kecepatan dilatasi servik kurang dari 1 cm per jam. Namun dilatasi dapat berlangsung secara normal meskipun kepala masih tinggi. Ini adalah keadaan berbahaya bila tidak segera dikenali.

5.33. TEMUAN KLINIS APA YANG MENYEBABKAN ANDA MENEGAKKAN DIAGNOSA CPD BILA KEPALA MASIH TIDAK MASUK PANGGUL?

Kadang-kadang, terutama pada multipara, kepala tidak masuk panggul sampai akhir kala I fase aktif. Akan tetapi bila keadaan ini terjadi anda harus memperhatikan faktor lain

  1. Kelainan presentasi ( letak muka atau letak dahi)
  2. Molase hebat ( 2+ atau lebih).

Bila hal tersebut terjadi maka diagnosa CPD dapat ditegakkan dan persalinan harus diakhiri dengan SC.

Dilain pihak, persalina pervaginam dapat dilanjutkan bila :

  • Tidak ada kelainan letak.
  • Molase tidak melebih 1+.
  • Keadaan ibu dan atau anak baik.

Pemeriksaan berikut dikerjakan 2 jam kemudian..

5.34. APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA SUDAH DITENTUKAN BAHWA PENYEBAB GANGGUAN PROSES PERSALINAN ADALAH AKIBAT CPD?

  • Setelah diagnosa CPD ditegakkan maka janin harus segera dilahirkan melalui SC. .
  • Sementara persiapan SC dilakukan, bila tidak ada kontraindikasi maka kontraksi uterus dihilangkan dengan pemberian tokolitik.

KONTRAKSI UTERUS TIDAK ADEKWAT

5.35. APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA SUDAH DITENTUKAN BAHWA PENYEBAB GANGGUAN PROSES PERSALINAN ADALAH AKIBAT KONTRAKSI UTERUS YANG TIDAK ADEKWAT ATAU TIDAK EFEKTIF?

  1. Bila tidak ada kontra indikasi berikan oksitosin infus. Penilaian kemajuan persalinan dilakukan 2 jam kemudian.
  2. Bila dilatasi servik bertambah dengan kecepatan ≥ 1 cm/jam, kemajuan persalinan memuaskan dan persalinan dilanjutkan dengan observasi.
  3. Bila dilatasi servik bertambah perlahan dengan kecepatan ≤ 1 cm/jam sementara his berlangsung adekwat maka harus dilakukan penilaian kemungkinan CPD.
  4. Bila situasi no 3 terjadi di Rumah Bersalin, maka sudah harus direncanakan untuk melakukan persiapan rujukan
  5. Pasien yang mengeluh nyeri saat his harus diberi analgesik sebelum pemberian oksitosin infus.

5.36. APA KONTRAINDIKASI OKSITOSIN INFUS UNTUK MEMPERKUAT HIS PADA KALA PERSALINAN I?

  1. Adanya tanda-tanda CPD (molase 2+)
  2. Jaringan parut uterus ( bekas SC, miomektomi )
  3. Kelainan letak
  4. Multipara dengan gangguan kemajuan persalinan kala I
  5. Grandemultipara
  6. Gawat janin.

*** Oksitosin memiliki efek antidiuretik, hati-hati penggunaannya pada kasus edema paru.

5.37. BAGAIMANA CARA PEMBERIAN OKSITOSIN INFUS?

  1. Larutkan 5 u oksitosin kedalam cairan RL 500 ml..
  2. Berikan melalui jarum infus dengan kecepatan 20 tetes per ml.
  3. Mulai dengan 15 tetes permenit , tingkatkan 15 tetes permenit menjadi 30 tetes per menit setelah 30 menit. Bila his belum adekwat, tingkatkan tetesan menjadi 60 tetes per menit.
  4. Bila setelah pemberian 2 labu RL + 5 u oksitosin @ 500 ml his masih belum adekwat ( his dengan frekuensi 2 – 3 kali dalam 10 menit dan masing-masing berlangsung selama 40 detik ) maka pertimbangkan bahwa pemberian oksitosin infus tidak bermanfaat.

5.38. APA AKIBAT PARTUS LAMA?.

Akibat partus lama dapat terjadi pada IBU dan ANAK.

  1. IBU: Ibu menjadi cemas dan dehidrasi. Bila partus lama diakibatkan oleh CPD (obstructive labour) dan persalinan dibiarkan berlarut-larut maka akan dapat terjadi :
    1. Ruptura uteri
    2. Fistula vesicovaginal .
    3. Fistula rectovaginal.
  2. JANIN: Stres persalinan akan menyebabkan hipoksia – gawat janin dan kematian janin.


RUJUKAN PARTURIEN DENGAN PARTUS LAMA KALA I

Prosedur tindakan baku rujukan pasien di masing-masing daerah tidak sama tergantung pada jarak antara RB dan RS Rujukan dan ketersediaan alat transportasi. Pada umumnya selama proses rujukan parturien harus mendapatkan pengamatan yang baik tenaga medis.


5.39. BAGAIMANA TINDAKAN AGAR RUJUKAN DAPAT DILAKUKAN DENGAN BAIK DAN MENJAMIN KESELAMATAN PASIEN SELAMA DALAM PERJALANAN KE RUMAH SAKIT?

  1. Pasang cairan infus.
  2. Pasien berbaring miring.
  3. Rujukan dengan didampingi oleh paramedis terlatih.
  4. Bila partus lama disebababkan oleh CPD, bila tidak ada kontraindikasi maka hentikan his dengan tokolitik parenteral ( Bricasma Drip ) atau peroral (Adalat 30 mg)

PROLAPSUS TALIPUSAT

5.40. MENGAPA PROLAPSUS TALIPUSAT MERUPAKAN KOMPLIKASI PERSALINAN YANG BERAT?

Oleh karena aliran darah didalam talipusat akan terhenti sehingga menyebabkan gawat janin atau kematian janin.

5.41. APA PERBEDAAN ANTARA PROLAPSUS TALIPUSAT DENGAN TALIPUSAT TERKEMUKA?

  • Pada TALIPUSAT TERKEMUKA, selaput ketuban masih utuh dan talipusat berada didepan kepala anak (cord presentation) .
  • Bila SELAPUT KETUBAN PECAH, akan terjadi prolapsus talipusat sehingga talipusat akan berada diantara kepala janin dengan jalan lahir. .

5.42. BAGAIMANA PENATALAKSANAAN TALIPUSAT TERKEMUKA ?

Harus segera dilakukan tindakan SC untuk mencegah kejadian prolapsus talipusat..

5.43. PASIEN APA YANG MEMILIKI RESIKO MENGALAMI PROLAPSUS TALIPUSAT?

  • Pasien dengan kelainan letak ( letak lintang) atau kelainan presentasi (presentasi bokong) .
  • Selaput ketuban pecah dan kepala masih belum engage ( palpasi 4/5 pada grande multipara).
  • Pasien hidramnion.
  • Persalinan preterm dengan KPD.
  • Kehamilan kembar dimana kejadian hidramnion, kelainan letak dan persalinan preterm sering terjadi.

5.44. APA YANG HARUS DILAKUKAN PADA PASIEN RESIKO TINGGI DIATAS SAAT KETUBAN PECAH?

Pemeriksaan vaginal untuk memastikan apakah tidak terjadi prolapsus talipusat.

5.45. BAGAIMANA PENATALAKSANAAN PROLAPSUS TALIPUSAT?

Segera lakukan VT:

  1. Bila pembukaan hampir lengkap dan kepala didasar panggul, pasien diminta untuk segera meneran dan persalinan secepatnya diakhiri.
  2. Bila dilatasi masih kecil :
    1. Reposisi talipusat atau bungkus talipusat dengan handuk hangat untuk menghindari vasospasme..
    2. Berikan O2 dalam sungkup dan tokolitik parenteral (bila tak ada kontra indikasi).
    3. Pasang Foley Catheter dan isi kandung kemih dengan 500 ml PZ dengan harapan akan dapat membebaskan jepitan pada talipusat.
    4. Pasien dengan posisi knee chest dan dorong bagian terendah janin untuk membebaskan talipusat dari tekanan.
    5. Siapkan rujukan atau segera lakukan tindakan SC

5.46. MENGAPA PADA KASUS PROLAPSUS TALIPUSAT DIBERIKAN OKSIGEN DAN TOKOLITIK?

  1. Pemberian oksigen untuk meningkatlan asupan oksigen pada janin.
  2. Tokolitik untuk menghentikan his sehingga tekanan pada bagian terendah janin berkurang.

5.47. APAKAH SEMUA KASUS PROLAPSUS TALIPUSAT HARUS DILAKUKAN SC BILA PERSALINAN PER VAGINAM TAK DAPAT BERLANGSUNG DALAM WAKTU SINGKAT?

Tidak . Sectio Caesar hanya dilakukan pada janin dengan harapan hidup besar (usia kehamilan diatas 28 minggu ) dan talipusat masih berdenyut. Bila harapan untuk hidup sangat kecil maka persalinan diupayakan per vaginam.

PROBLEMA KASUS

KASUS 1

Primigravida hamil aterm dengan HIV negatif masuk kamar bersalin. Terdapat 1 kontraksi uterus dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 30 detik. Dilatasi servik 1 cm dan pendataran 25%. Hasil observasi ibu dan anak normal. 4 jam kemudian kontraksi uterus menjadi 2 kali dalam 10 menit dan masing-masing berlangsung sekitar 40 detik. Pada VT dilatasi servik 1 cm dan pendataran 75% dengan selaput ketuban menonjol. Diagnosa saat itu : kemajuan proses persalinan bruk akibat his yang tidak adekwat dan diputuskan untuk melakukan oksitosin infus.

1. Apakah anda sepenapat dengan diagnosa tersebut?

Diagnosis salah mengingat bahwa pasien memang masih pada fase laten

Diagnosa gangguan kemajuan proses persalinan hanya bisa ditegakkan pada fase aktif.

2. Mengapa pada fase laten tersebut situasi masih dikatakan tidak menentu ?

  • Dilatasi servik masih kurang dari 3 cm
  • Dilatasi pada fase laten berlangsung perlahan
  • Saat itu masih berlangsung pendataran servik
  • Terdapat peningkatan kuantitas his.

3. Apa yang harus saudara lakukan ?

Terlepas dari diagnosa yang salah, oksitosin tidak boleh diberikan sebelum selaput ketuban dipecahkan.

4. Haruskah selaput ketuban dipecah pada pemeriksaan VT kedua?

Tidak. Bila kondisi ibu dan anak baik, anda dapat menunggu sampai dilatasi 3 cm atau lebih. Selaput ketuban dapat dipecah bila pasien masih berda pada fase laten 8 jam kemudian..

KASUS 2

Pasien hamil aterm masuk kamar bersalin dengan presentasi belakang kepala (vertex presentation). Dilatasi servik 4 cm dan dicantumkan pada garis waspada. Pada VT berikutnya, dilatasi mencapai 8 cm. Teraba caput. Diperkirakan bahwa terdapat kemajuan persalinan dan direncanakan untuk melakukan VT 4 jam kemudian. .

1. Saat masuk kamar bersalin, haruskah dilatasi servik dicantumkan pada garis waspada?

Ya. Pasien dalam fase aktif (dilatasi 4 cm) sehingga hasil pemeriksaan tersebut dicantumkan pada garis waspada. Observasi lebih lanjut, hasil pemeriksaan dilatasi servik seharusnya berada disebelah kiri garis waspada

2. Apakah hasil pemeriksaan kedua mengindikasikan bahwa persalinan berlangsung secara normal?

Tidak selalu seperti itu mengingat bahwa tidak ada informasi mengenai desensus. Kemajuan dilatasi servik tanpa desensus tidak selalu menunjukkan bahwa terdapat kemajuan persalinan.

3. Apakah dilatas servik dengan penurunan bagian terendah janin yang ditemukan melalui VT (stasion ) mungkin terjadi pada kasus CPD?

Ya. Kontraksi uterus menyebabkan bertambahnya pembentukan caput dan molase yang seringkali disalahartikan dengan kemajuan proses desensus dan proses persalinan dianggap maju. Pada kasus ini, melalui pemeriksaan VT ulangan ditemukan caput. Namun informasi lebih lanjut mengenai molase dan palpasi perlimaan diperlukan untuk menentukan apakah persalinan mengalami kemajuan atau tidak.

4. Apakah keputusan untuk melakukan VT berikutnya adalah 4 jam berikutnya adalah benar?

Tidak. Bila dilatasi servik sudah mencapai 8 cm maka VT berikutnya harus dilakukan 2 jam kemudia atau lebih cepat bila ada indikasi bila dilatasi sudah lengkap.

KASUS 3

Pasien primigravida aterm masuk kamar bersalin. Pada pemeriksaan awal palpasi perlimaan hasilnya 2/5 dan dilatasi servik 6 cm. Terdapat his dengan frekuensi 3 kali per 10 menit dan masing-masing berlangsung 45 detik. Pasien mengeluh nyeri hebat saat his berlangsung.

Pada pemeriksaan 4 jam berikutnya, desensus masih 2/5 dilatasi servik masih tetap 6 cm dan kwalitas kontraksi uterus masih tetap sama dan tetap dirasakan nyeri.

Oleh karena tidak ada kemajuan persalinan dengan his yang adekwat maka ditegakkan diagnosa CPD dan direncanakan SC.

1. Setujukah anda dengan diagnosa Partus lama akibat CPD diatas?

Tidak. Diagnosa CPD diduga harus berdasarkan adanya molase 2+ atau lebih

2. Apa kira-kira penyebab partus lama diatas?

Pasien adalah primigravida dengan his yang adekwat, rasa yeri saat his dan tanopa tanda-tanda CPD. Kemungkinan diagnosa penyebab adalah disfungsi kontraksi uterus yang tidak efektif

3. Bagaimana penatalaksanaan partus lama diatas ?

Pertama, berikan semangat pada parturien dan berikan analgesik. Setelah penderita tenang, berikan infus oksitosin untuk membuat kontraksi uterus yang efektif.

4. Mengapa pemberian semangat pada pasien merupakan hal penting?

Pasien yang cemas seringkali mengalami gangguan kemajuan persalinan dan mersasa bahwa his yang terjadi menimbulkan rasa nyeri yang berlebihan.

Dukungan emosional selama persalinan sangat penting pada pasien yang inpartu.

5. Kapan saudara merencanakan untuk melakukan VT ulangan?

VT ulangan dilakukan 2 jam kemudian untukm menentukan efektivitas pengobatan. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan harus dapat menyingkirkan kemungkinan CPD.


KASUS 4

Pasien inpartu aterm mengalami kemajuan persalinan yang lambat dan pengamatan dilatasi servik menunjukkan bahwa dilatasi servik sudah menyilang garis waspada. Hasil pemeriksaan VT menunjukkan adanya posisio osipitalis posterior. Oleh karena ada sedikit kemajuan dalam proses persalinan maka diputuskan untuk melanjutkan persalinan per vaginam dengan observasi. Setelah 4 jam, dilatasi servik menyilang pada garis tindakan. Sekali lagi, mengngat adanya kemajuan persalinan maka diputuskan untuk melanjutkan observasi dan direncanakan untuk melakukan evaluasi ulangan 2 jam kemudian. .

1. Apakah penatalaksanaan pasien sudah benar saat dilatasi servik menyentuh garis waspada?

Ya. Dia sudah mendapatkan penilaian secara sistematis dan mendapatkan diagnosa gangguan kemajuan persalinan akibat posisio osipitalis posterior.

2. Apa yang harus dilakukan setelah ditegakkan diagnosa persalinan memanjang akibat posisio osipitalis posterior ?

Pasang infuse untuk mencegah dehidrasi dan diberikan analgesia.

3. Apakah penatalaksanaan saat menyilanggaris tindakan sudah benar?

Salah. Pada saat itu seharusnya dilakukan penilaian yang spesialistis. Dan penatalaksanaan lanjutan dilakukan secara spesialistis pula.

4. Pada keadaan apa, dokter mempertimbangkan untuk melanjutkan observasi persalinan?

Apabila persalinan masih maju dan kondisi ibu dan anak baik dan molase yang terjadi kurang dari 3+.


Review oleh dr.Bambang Widjanarko,SpOG

Juni 2009


Unit 4 : Persalinan Kala II

PANDUAN PENDIDIKAN PERSIAPAN KLINIK

Unit 4 :

PERSALINAN KALA II



TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan modul PERSALINAN KALA II ini, mahasiswa memiliki kemampuan untuk :

  1. Melakukan identifikasi awal persalinan kala II
  2. Menentukan saat pasien meneran
  3. Berkomunikasi secara efektif dengan penderita saat persalinan
  4. Memanfaatkan upaya ibu saat meneran
  5. Melakukan observasi yang tepat pada persalinan kala II
  6. Menilai kemajuan persalinan kala II secara tepat
  7. Melakukan penatalaksanaan kala II memanjang
  8. Membuat diagnosis dan penatalaksanaan distosia bahu


4.1 TANDA KLINIS APA YANG MENANDAI AWAL DAN AKHIR KALA II?

Kala II diawali saat dilatasi servik lengkap dan diakhiri saat anak sudah lahir.

4.2 SEBUTKAN GEJALA DAN TANDA YANG MENUNJUKKAN BAHWA KALA II AKAN SEGERA DIMULAI !

Terjadi satu atau beberapa dari hal-hal berikut ini :

    • Frekuensi dan durasi his (kontraksi uterus) bertambah (his menjadi semakin sering dan semakin lama)
    • Pasien menjadi gelisah
    • Pasien kadang-kadang mengeluh mual dan muntah
    • Pasien merasakan keinginan kuat untuk meneran
    • Setiap kali terjadi his, perineum menonjol dan merang akibat terdorong kepala janin.

Ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan palpasi abdomen dalam rangka menentukan derajat desensus bagian terendah janin dan dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam (vaginal toucher)

4.3 APAKAH PARTURIEN HARUS SEGERA MENERAN SAAT DILATASI SUDAH LENGKAP?

Tidak. Pasien diminta untuk sedikit bersabar sampai perineum teregang oleh kepala anak dan ibu merasakan adanya keinginan kuat untuk meneran.

Kepala janin dikatakan sudah engage (masuk panggul) bila pada perabaan per limaan menunjukkan angka 1/5.


PASIEN DIMINTA UNTUK MENERAN SAAT KEPALA SUDAH MEREGANG PERINEUM DAN MERASAKAN ADANYA DORONGAN KUAT UNTUK MENERAN


4.4 APA YANG DIMAKSUD DENGAN ENGAGEMEN KEPALA DAN SAAT ITU BERAPA BAGIAN KEPALA JANIN YANG DAPAT DIRABA DIATAS PANGGUL?

Kepala janin dikatakan sudah engage bila diameter tranversal terbesar kepala (diameter biparetal) sudah melewati pintu atas panggul. Berdasarkan palpasi perlimaan, kepala disebut sudah engage bila hasil palpasi 2/5 atau kurang.

KEPALA JANIN SUDAH ENGAGE BILA BAGIAN KEPALA JANIN YANG TERABA DIATAS PANGGUL ADALAH 2/5 ATAU KURANG

Engagemen biasanya dimulai sebelum awal persalinan.

Pada awal persalinan, biasanya hasil palpasi adalah 5/5 dan saat dilatasi lengkap maka kepala janin tidak lagi dapat diraba (0/5).

4.5 APAKAH AWAL KALA II PADA PRIMIGRAVIDA BERBEDA DENGAN MULTIGRAVIDA?

Ya. Pada primigravida engagemen kepala seringkali terjadi sebelum awal persalinan. Namun pada multigravida, seringkali engagemen terjadi saat inpartu atau bahkan beberapa saat setelah dilatasi servik lengkap.

4.6 PADA PASIEN DENGAN DILATASI SERVIK SUDAH LENGKAP NAMUN KEPALA MASIH BELUM ENGAGE, BILAMANA TERJADINYA ENGAGEMEN DAPAT DITUNGGU SEBELUM PASIEN DIPERBOLEHKAN MENERAN?

  1. Bila tidak terdapat tanda – tanda gawat janin
  2. Bila tidak terdapat tanda – tanda disproporsi sepalo pelvik (CPD)

4.7 SAMPAI BERAPA LAMA ENGAGEMEN DAPAT DITUNGGU SETELAH DILATASI SERVIK LENGKAP?

  1. Bila tidak ada tanda-tanda gawat janin dan keadaan umum ibu menunjang maka penilaian ulang dilakukan 1 jam kemudian.
  2. Pada umumnya dalam waktu 1 jam sudah terjadi engagemen kepala dan diikuti oleh keinginan ibu untuk meneran.
  3. Bila setelah 1 jam kepala belum engage, bila kwalitas his adekwat maka diberikan kesempatan tambahan 1 jam kecuali bila keadaan ibu dan atau anak tidak menunjang atau ditemukan adanya tanda- tanda CPD
  4. Bila setelah ditunggu selama 2 jam dengan his adekwat masih belum juga terjadi engagemen dan ibu tidak ada keinginan untuk meneran maka harus dilakukan penilaian ulang untuk menentukan ada tidaknya kesempitan panggul – bayi besar atau kelainan posisi kepala.

4.8 BAGAIMANA POSISI IBU SAAT MELAHIRKAN?

  1. Posisi melahirkan umumnya adalah telentang (posisi dorsal) agar pengaturan persalinan mudah dilakukan. Namun posisi ini memiliki kerugian akibat kemungkinan adanya hipotensi postural. Masalah ini dapat dihindari dengan mengganjal salah satu bokong ibu dengan bantal lunak sehingga posisi pasien miring 150
  2. Posisi lateral (miring) dapat menghindarkan hipotensi postural dan memudahkan pengamatan vulva dan perineum. Posisi ini menyebabkan relaksasi otot panggul sehingga persalinan menjadi lebih mudah.
  3. Posisi vertikal (berdiri atau jongkok), posisi ini saat ini menjadi favorit. Parturien menduduki kedua tumit dan menyangga tubuh dengan kedua lengannya. Posisi ini memiliki keuntungan :
    1. Tenaga meneran menjadi semakin efektif
    2. Kala II menjadi lebih singkat
    3. Angka persalinan operatif pervaginam (assisted delivery) menjadi turun.
  4. Posisi semi-Fowler, pasien setengah duduk (miring 450) dan posisi ini adalah alternatif dari posisi vertikal. Posisi semi Fowler memudahkan aktivitas penolong maupun parturien.

4.9 BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN KERJA SAMA YANG BAIK ANTARA PARTURIEN DAN PENOLONG PERSALINAN?

  1. Komunikasi antara pasien dan penolong persalinan serta semua staf kamar bersalin merupakan faktor penting. Rasa percaya satu sama lain harus dikembangkan sejak kala I (atau bahkan saat perawatan antenatal) dan berlanjut sampai persalinan berakhir dan kala IV.
  2. Parturien harus mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan agar persalinan berlangsung dengan baik. Penolong persalinan harus senantiasa memberikan dukungan dan semangat agar parturien mampu bekerja sama dengan baik. Kerjasama dan upaya meneran yang optimal dari ibu patut mendapatkan apresiasi dari penolong persalinan.

4.10 BAGAIMANA MENGUSAHAKAN AGAR PARTURIEN MAMPU MENERAN SECARA EFEKTIF?

  1. Pada persalinan kala II parturien harus aktif untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu kontraksi otot rahim. Semakin efektif usaha meneran ibu semakin pendek kala II berlangsung.
  2. Penolong persalinan harus menjelaskan kapan parturien harus meneran (yaitu saat kontraksi uterus mencapai puncaknya)
  3. Diluar his, parturien hendaknya mengambil nafas dalam-dalam dan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga.
  4. Pada puncak his, pasien diminta mengambil nafas dalam-dalam dan dengan menempelkan dagu kedadanya dia mengerahkan tenaganya untuk meneran seperti yang dilakukan saat BAB. Aktivitas meneran akan semakin efektif dan mudah dilakukan bila kedua tungkai diletakkan pada penyangga.
  5. Usaha meneran dilakukan selama mungkin.
  6. Bila pasien ingin bernafas saat meneran maka hal tersebut harus dilakukannya dengan cepat dan kemudian menahan nafas dan kembali meneran.
  7. Pada mutigravida, kadang-kadang parturien harus lebih sering mengambil nafas untuk mencegah berlangsungnya persalinan kepala yang terlampau cepat.

KOMUNIKASI YANG BAIK ANTARA PARTURIEN DENGAN PENOLONG PERSALINAN MERUPAKAN FAKTOR PENTING DALAM PERSALINAN.

4.11 APA YANG HARUS DIAMATI SELAMA KALA II?

Bila kepala masih beum engage dan diputuskan untuk menunggu proses engagemen, maka semua jenis pengamatan pada kala I harus dilanjutkan.

Bila kepala sudah engagemen dan pasien diminta untuk meneran maka observasi berikut harus dilakukan :

    • Dengarkan DJJ diluar His dan tentukan nilai dasar DJJ
    • Dengarkan DJJ segera setelah His. Bila frekuensinya masih sama dengan nilai dasar maka dapat dipastikan bahwa janin dalam keadaan baik. Tetapi bila frekuensi DJJ menurun pada akhir His dan angka tersebut bertahan lebih dari 30 detik sebelum kembali ke nilai dasar (terjadi deselerasi lambat) maka persalinan harus segera diakhiri oleh karena sudah terjadi gawat janin.
    • Observasi frekuensi dan durasi His
    • Perhatikan apakah tidak terjadi perdarahan per vaginam
    • Catat kemajuan proses persalinan.

4.12 BAGAIMANAKAH PENATALAKSANAAN GAWAT JANIN PADA KALA II?

  1. Bila kepala sudah didasar panggul (perineum teregang), lakukan episiotomisaat pasien meneran sehingga janin dapat lahir pada His dan usaha meneran berikutnya.
  2. Bila kepala belum meregang perineum dan nampaknya janin belum dapat lahir dengan 1 – 2 kali meneran, maka dapat dipertimbangkan untuk mempercepat kala II dengan persalinan operatif pervaginam (ekstraksi vakum atau ekstraksi cunam) bila tidak terdapat CPD.

4.13 BAGAIMANA CARA MENGAMATI KEMAJUAN PERSALINAN KALA II ?

Pada tiap His dan kegiatan meneran harus terjadi kemajuan dalam proses desensus kepala janin

4.14 APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA TIDAK TERJADI DESENSUS?

  1. Bila dalam waktu 10 menit terjadi his 2 kali atau lebih dan masing-masing berlangsung sekitar 40 detik dan setelah 4 kali usaha meneran tidak terjadi kemajuan desensus maka harus dipertimbangkan kemungkinan mempercepat kala II
  2. Pada primigravida dengan His tidak adekwat dan tidak terdapat tanda-tanda CPD (derajat molase 2+ atau kurang), maka dapat dipertimbangkan pemberian oksitosin untuk memperkuat His.
  3. Bila tidak ada kemajuan proses desensus dan terdapat tanda CPD (derajat molase 3+) maka pasien diminta tidak meneran lebih lanjut dan mengambil nafas saat His. Penderita dipersiapkan untuk persalinan SC.

DENGAN KONTRAKSI UTERUS DAN USAHA MENERAN YANG BAIK AKAN TERJADI PROSES DESENSUS BAGIAN TERENDAH JANIN

4.15 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA II?

Penolong persalinan harus siap menghadapi komplikasi yang mungkin terjadi. Peralatan harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan yang dibutuhkan harus sudah disiapkan.

  1. Kosongkan kandung kemih
  2. Menyangga perineum. Perineum dilapisi dengan kain bersih untuk mencegah kontaminasi dari anus kevulva dan muka janin. Perineum disangga dengan tangan yang beralas kain bersih (perasat Ritgen) dengan maksud :
    • Mempertahankan fleksi kepala janin sehingga bagian kepala janin yang melewati jalan lahir adalah diameter terkecil kepala. Ini dilakukan dengan memberikan tekanan ringan pada perineum diatas anus
  3. CROWNING : Pada saat crowning (diameter kepala janin yang terlihat berukuran sekitar 5 cm ), vagina akan mengalami regangan dan ini merupakan saat yang baik untuk melakukan episiotomi. Penolong persalinan meletakkan tangan kirinya pada vertex untuk mempertahankan posisi fleksi dan mencegah persalinan kepala yang terlalu cepat. Tangan kanan diletakkan pada perineum untuk membantu ekstensi kepala. Perlu diperhatikan, pada maneuver ini kepala janin bukan didorong masuk.
  4. MERABA TALIPUSAT : Setelah kepala lahir, diperiksa kemungkinan adanya lilitan talipusat. Bila ada, lepaskan lilitan melalui bagian atas kepala janin dan bila lilitan terlalu erat lakukan pemotongan talipusat diantara dua klem.
  5. MELAHIRKAN BAHU DAN TUBUH JANIN : Kedua sisi kepala janin dicekap dengan kedua telapak tangan dan dengan traksi curam bawah bahu depan anak dilahirkan dibawah simfisis pubis dan dengan elevasi keatas bahu belakang lahir didepan perineum. Sisa tubuh janin dilahirkan dengan mengikuti lengkungan panggul dan bukan sekedar menarik keluar dari vagina.

4.16 EPISIOTOMI DALAM OBSTETRI MODERN

Episiotomi tidak dilakukan secara rutin pada primigravida namun berdasarkan indikasi :

  1. Percepatan kala II :
    1. Gawat janin pada kala II
    2. Ibu sangat lelah
    3. Kala II memanjang
    4. Ibu dilarang meneran ( payah jantung, preeklampsia berat)
  2. Persalinan preterm ; Persalinan sungsang atau persalinan buatan dengan ekstraksi cunam / ekstraksi vakum
  3. Persalinan dengan resiko ruptura perinei totalis:
    1. Perineum tipis dan sangat teregang
    2. Riwayat mengalami ruptura perinei totalis pada persalinan yang lalu
    3. Riwayat pasca reparasi rektokel

4.17 APAKAH ROBEKAN JALAN LAHIR DERAJAT DUA SEMBUH LEBIH CEPAT DAN MEMILIKI KOMPLIKASI YANG LEBIH SEDIKIT LEBIH DIBANDINGKAN EPISIOTOMI?

EPISIOTOMI HANYA BOLEH DILAKUKAN ATAS DASAR INDIKASI

Ya. Robekan jalan lahir tingkat dua lebih mudah diperbaiki dan sembuh lebih cepat serta dengan komplikasi yang lebih ringan dibandingkan episiotomi. Episiotomi tidak dilakukan secara rutin pada primigravida.

4.18 JENIS EPISIOTOMI APA YANG SEBAIKNYA DIKERJAKAN?

Umumnya adalah episiotomi mediolateral mengingat bahwa jenis episiotomi ini jarang menyebabkan ruptura perinei totalis meskipun jenis ini lebih sulit diperbaiki dan reposisi anatomis lebih sulit dicapai dibandingkan episiotomi medial.

image

Gambar : Episiotomi mediolateral kanan

image

Gambar : Episotomi medial

4.19 APA YANG DIMAKSUD DENGAN KALA II MEMANJANG?

Pada primigravida : 2 jam dan pada multigravida 1 jam ( tidak menggunakan anaesthesi)

4.20 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN KALA II MEMANJANG (PROLONGED SECOND STAGE) ?

Penolong persalinan harus melakukan penilaian ulang. Bila fasilitas tersedia, kepala sudah didasar panggul (desensus 1/5) dan tidak ada indikasi CPD maka dilakukan persalinan berbantu (ekstraksi vakum/cunam). Bila diperkirakan terdapat indikasi CPD maka diputuskan untuk melakukan tindakan SC.

PERSALINAN KALA II MEMANJANG ADALAH KOMPLIKASI PERSALINAN BERAT DAN MEMERLUKAN PENATALAKSANAAN YANG CEPAT DAN TEPAT

Bila fasilitas tidak tersedia maka parturien harus dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas lengkap.

4.21 BAGAIMANA CARA MERUJUK PASIEN DENGAN KALA II MEMANJANG?

  1. Pasien berbaring sedikit miring dan dilarang meneran bila ada His. Bila ada keinginan meneran, sebaiknya pasien mengambil nafas dalam
  2. Pasang infus dan bila tidak ada kontraindikasi berikan tokolitik (bricasma ampul) atau 3 tablet nifedipine 10 mg peroral.
  3. Bila terdapat gawat janin, berikan oksigen dalam sungkup dengan kecepatan 5LO2 /menit.

4.22 FAKTOR APA YANG DITEMUKAN PADA PERIODE ANTENATAL YANG MENEMPATKAN PENDERITA PADA RESIKO TINGGI MENGALAMI PEMANJANGAN KALA II?

  1. Faktor-faktor yang mengarah pada dugaan terdapat bayi besar :
    1. Jarak FU sampai tepi atas simfisis lebih dari 90 persentil tanpa disertai tanda dugaan hidramnion atau kehamilan kembar
    2. Gangguan OGTT atau DM
    3. Berat badan pasien lebih dari 85 kg
    4. Pasien dengan riwayat melahirkan bayi lebih dari 4 kg.
  2. 2. Faktor – faktor pada kala I :
    1. TBJ lebih dari 4 kg
    2. Kemajuan persalinan buruk
    3. Setelah mencapai dilatasi servik 7 – 8 cm, His menjadi lemah dan tidak ada kemajuan persalinan.

GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN KALA I SERING DIIKUTI DENGAN KALA II MEMANJANG

4.23 PADA KEADAAN APA ANDA HARUS SEGERA MEMBERSIHKAN JALAN NAFAS ANAK SAAT PERSALINAN?

  1. BILA AIR KETUBAN BERCAMPUR MEKONIUM : Segera setelah kepala anak lahir, proses persalinan dihentikan dan segera bersihkan mulut dan hidung anak. Bersihkan mulut lebih dulu dan kemudian bersihkan hidung. Lahirkan bahu anak setelah mulut dan hidung bersih.
  2. BILA AIR KETUBAN JERNIH : Tindakan diatas tidak perlu dilakukan. Setelah seluruh tubuh anak lahir dan anak segera bernafas tindakan membersihkan jalan nafas tidak perlu dilakukan.

4.24 PASIEN YANG BAGAIMANA YANG MEMILIKI RESIKO MENGALAMI DISTOSIA BAHU?

Pasien resiko tinggi mengalami pemanjangan kala II seperti yang dibahas pada no 22.

4.25 APA GEJALA DAN TANDA TERJADINYA PERISTIWA DISTOSIA BAHU?

  1. Pada proses persalinan normal kepala lahir melalui gerakan ekstensi. Pada distosia bahu kepala akan tertarik kedalam dan tidak dapat mengalami putar paksi luar yang normal.
  2. Ukuran kepala dan bentuk pipi menunjukkan bahwa bayi gemuk dan besar. Begitu pula dengan postur tubuh parturien yang biasanya juga obese.
  3. Usaha untuk melakukan putar paksi luar, fleksi lateral dan traksi tidak berhasil melahirkan bahu.

4.26 BAGAIMANA PENATALAKSANAAN DISTOSIA BAHU?

Langkah-langkah berikut dilakukan secara bertahap :

  1. Beritahu parturien bahwa terjadi komplikasi yang gawat dan diperlukan kerja sama lebih lanjut.
  2. Geser posisi pasien sehingga bokong berada dipinggir tempat persalinan sedemikian sehingga memudahkan traksi curam bahwa kepala anak.
  3. Lakukan fleksi maksimal pada sendi paha dan sendi lutut kedua tungkai parturien sedemikian rupa sehingga lutut hampir menempel pada bahu. Penolong persalinan menahan kepala anak dan pada saat yang sama seorang asisten memberikan tekanan diatas simfisis.
  4. Tekanan suprapubik ini dimaksudkan untuk membebaskan bahu depan dari tepi bawah simfsis pubis. Parturien diminta untuk meneran sekuat tenaga saat penolong persalinan berusaha untuk melahirkan bahu.

**** ini adalah serangkaian tindakan maneuver Mc Robert.

image Gambar : Maneuver Mc Robert menyebabkan rongga panggul menjadi lebih luas

5. Bila prosedur diatas tidak membawa hasil maka LAHIRKAN BAHU BELAKANG:

  1. Masukkan telapak tangan kanan kejalan lahir diantara bahu belakang dan dinding belakang vagina. Ruangan sacrum cukup luas untuk meneuver ini
  2. Telusuri bahu sampai mencapai siku. Lakukan gerakan fleksi pada sendi siku dan lahirkan lengan belakang melalui bagian depan dada. Dengan lahirnya lengan belakang ini maka bahu belakang anak juga lahir.
  3. Bahu depan dilahirkan lebih lanjut dengan melakukan traksi curam bawah kepala (traksi ke posterior)
  4. Bila bahu depan masih belum dapat dilahirkan maka tubuh anak harus dirotasi 1800 .Saat melakukan gerakan rotasi tersebut, tubuh anak dicekap. Arah putaran sesuai dengan bahu yang sudah dilahirkan (putar tubuh anak mengikuti bagian bahu yang sudah dilahirkan). Bahu yang terperangkap dapat dibebaskan dengan memasukkan tangan ke bagian posterior seperti 3 hal yang sudah dijelaskan diatas

image

melahirkan bahu belakang

Usaha melahirkan bahu jangan dilakukan dengan kepanikan. Bila prosedur ini dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 5 menit maka diperkirakan tidak akan terjadi cedera pada otak anak. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah fraktura klavikula – fraktura humerus – Erb’s paralysa (paralisa pleksus brachialis. Jangan buang-buang waktu dengan melakukan menuver yang tidak efektif.

image


DISTOSIA BAHU ADALAH KOMPLIKASI GAWAT YANG MEMERLUKAN PENANGANAN YANG CEPAT – TEPAT DAN TERENCANA SECARA JELAS



PROBLEMA KASUS

KASUS 1

Parturien multipara inpartu sejak jam 18.00. Palpasi abdomen menunjukkan desensus pada

3/5 dan dilatasi servik 7 cm.

Pada pemeriksaan ulangan pukul 21.00 menunjukkan bahwa dilatasi servik sdah lengkap akan

tetapi saat itu kepala anak masih belum engage. Dilakukan persiapan untuk segera memimpin

persalinan dan parturien diminta untuk meneran sekuat tenaga saat His.

1. Setujukah anda bila saat itu parturien diminta untuk segera meneran oleh karena dilatasi servik sudah lengkap?

Tidak. Pasien diminta meneran hanya bila engagemen kepala sudah sempurna dan kepala sudah berada didasar panggul.

2. Apa gejala dan tanda yang menunjukkan bahwa pasien harus segera meneran?

Pasien merasakan adanya keinginan kuat untuk segera meneran. Selain itu, pada palpasi abdomen kepala sudah engage dengan sempurna dan saat meneran, kepala anak dapat meregang perineum.

3. Bila palpasi abdomen tidak menunjukkan bahwa kepala sudah engage sempurna, hal lain apa yang harus diperhatikan sebelum meminta pasien meneran?

Tidak terjadi gawat janin. Pastikan tidak ada deselerasi lambat.

Tidak terdapat CPD (molase kurang dari 2+)

4. Berapa lama waktu yang tersedia secara aman untuk menanti sampai terjadinya engagemen?

Penilaian ulang dilakukan 1 jam kemudian. Bila masih belum juga terjadi engage anda boleh menambahkan waktu 1 jam lagi dengan catatan tidak terdapat tanda-tanda CPD

5. Apakah anda diperkenankan untuk melakukan penatalaksanaan tersebut diatas pada primigravida ?

Pada primigravida, saat dilatasi servik lengkap biasanya kepala sudah engage oleh karena itu kemungkinan adanya CPD pada primigravida yang kepala janin masih belum engage saat dilatasi servik lengkap lebih besar.


KASUS 2

Parturien dengan kemajuan persalinan kala I berlangsung normal sampai dengan dilatasi servik 7cm dan selanjutnya mencapai pembukaan servik lengkap setelah 5 jam. Pada pemeriksaan terakhir memperlihatkan desensus masih 3/5 dan molase 3+. Persiapan persalinan kala II sudah dilakukan dan parturien diminta untuk

meneran saat His mencapai puncaknya.

1. Kemungkinan komplikasi persalinan yang dapat terjadi dengan memperhatikan kemajuan persalinan kala I?

Pemanjangan persalinan kala II ( pada persalinan kala I, setelah dilatasi 7 cm nampaknya terjadi penurunan kecepatan dilatasi servik)

2. Apa penyebab pemanjangan kala II tersebut ?

CPD seperti yang terlihat dari hasil pemeriksaan molase 3+

3. Apakah anda sependapat bila pasien diminta untuk segera meneran setelah dilatasi servik lengkap?

Tidak. Mengingat adanya kemungkinan CPD maka sebaiknya dilakukan SC.

4. Apa yang harus saudara lakukan bila keadaan ini terjadi di Rumah Bersalin?

Parturien harus diujuk ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap.

5. Bagaimana saudara mengatur rujukan akan akan saudara lakukan dengan baik ?

  • Pasien dibaringkan secara miring dan dipasang cairan infus.
  • Bila tidak ada kontraindikasi, berikan tokolitik untuk menghentikan His (Bricasma atau Adalat)
  • Bila terjadi gawat janin, berikan oksigen dalam sungkup


KASUS 3

Proses persalinan kala II pada parturien primigravida masih belum terselesaikan

setelah 60 menit. Palpasi abdomen 0/5 dan kepala sudah didasar panggul .

1. Apakah anda setuju dengan diagnosis kala II memanjang (prolonged second Stage) ?

  • Tergantung pada fakta apakah selama 60 menit parturien dipimpin dengan baik dan dia mampu meneran dengan baik dan benar
  • Bila pimpinan sudah dilakukan dengan baik dan parturien sudah meneran dengan baik dan benar maka diagnosa situasi diatas adalah kala II memanjang

2. Apa yang harus saudara lakukan bila memang selama 60 menit pasien sudah meneran dengan baik ?

  • Lakukan episiotomi
  • Bila setelah meneran beberapa kali persalinan kala II belum selesai, pertimbangkan percepatan kala II (ekstraksi vakum/cunam)

3. Apakah episiotomi merupakan tindakan rutin pada semua primigravida?

Tidak. Episiotomi hanya dikerjakan atas dasar indikasi

4. Apa yang harus dilakukan bila pemanjangan kala II disebabkan oleh kurang kerja sama antara penolong persalinan – parturien dan usaha meneran yang tidak efektif?

Komunikasi penolong persalinan – parturien harus dikembangkan sejak persalinan kala I untuk membina kepercayaan parturien. Parturien harus mengetahui dengan jelas apa yang harus dia lakukan. Parturien harus senantiasa memperoleh dukungan dan semangat serta penghargaan atas kerja sama yang diperlihatkannya.


KASUS 4

Pasien multigravida dengan berat tubuh 110 kg inpartu dan kemajuan proses persalinan berlangsung sampai dilatasi servik lengkap. Setelah 30 menit meneran terjadi kesulitan persalinan kepala. Kepala masuk tertarik kembali dan tidak terjadi putar paksi luar.

1. Komplikasi persalinan kala II apa yang terjadi pada kasus ini?

Distosia bahu.

2. Pada kasus ini , bagaimana komplikasi ini dapat diramalkan akan terjadi?

Pasien dengan berat badan 110 kg.

3. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini lebih lanjut ?

Geser parturien dan letakkan bokong ke pinggir tempat tidur persalinan (atau lepaskan bagian ujung tempat persalinan) sedemikian rupa sehingga traksi kepala janin mudah dilakukan. Lakukan maneuver Mc Robert

4. Apa yang harus saudara lakukan bila cara diatas tidak berhasil mengatasi keadaan dan kepala masih belum dapat dilahirkan?

Lakukan persalinan bahu belakang.

Review oleh dr.Bambang Widjanarko,SpOG