Pages

Kamis, 30 Juli 2009

MASA NIFAS

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Fakultas Kedokteran & Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Jakarta



PENDAHULUAN

Puerperium (masa nifas) atau periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu.

Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan.

Puerperium dapat dibagi menjadi :

  • Periode pasca persalinan : 24 jam pasca persalinan.
  • Periode puerperium dini : minggu pertama pasca persalinan.
  • Periode puerperium lanjut : sampai 6 minggu pasca persalinan.


PERUBAHAN FISIOLOGI dan ANATOMI

Perubahan endokrin yang terjadi selama kehamilan akan terjadi secara cepat Hpl- human Placental Lactogen serum tidak terdeteksi dalam waktu 2 hari dan hCG- Human Chorionic Gonadotropin tidak terdeteksi dalam waktu 10 hari pasca persalinan.

Kadar estrogen dan progesteron serum menurun sejak 3 hari pasca persalinan dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari ke 7. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI ; bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan menyebabkan pertumbuhan folikel.

Pada pasien yang memberikan ASI, kadar human Prolactin-hPr akan meningkat.

Sistem kardiovaskular akan kembali pada nilai sebelum kehamilan dalam waktu 2 minggu pasca persalinan.

Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic state” akibat adanya pergeseran cairan ekstravaskular kedalam ruang intravaskular. Volume darah dan plasma normal kembali pada minggu kedua.

Sampai pada 10 hari pertama pasca persalinan, peningkatan faktor pembekuan dalam kehamilan akan menetap dan diimbangi dengan kenaikan aktivitas fibrinolisis.


PERUBAHAN MORFOLOGIS PADA TRAKTUS GENITALIA

Dinding vagina edematous, kebiruan serta kendor dan tonus kembali kearah normal setelah 1 – 2 minggu.

Pada akhir kala III, besar uterus setara dengan ukuran kehamilan 20 minggu dengan berat 1000 gram. Pada akhir minggu pertama berat uterus mencapai 500 gram.

Pada hari ke 12, uterus sudah tidak dapat diraba melalui palpasi abdomen.

image

Perubahan involusi tinggi fundus uteri dan ukuran uterus selama 10 hari pasca persalinan

“placental site” mengecil dan dalam waktu 10 hari diameternya kira-kira 2.5 cm.

Lochia yang terjadi sampai 3 – 4 hari pasca persalinan terdiri dari darah, sisa trofoblas dan desidua coklat kemerahan yang disebut lochia rubra.

Selanjutnya berubah menjadi lochia serosa yang seromukopurulen dan berbau khas.

Selama minggu II dan III, lochia menjadi kental dan putih kekuningan yang disebut lochia alba terdiri dari leukosit dan sel desidua yang mengalami degenerasi. Setelah minggu 5 – 6, sekresi lochia menghilang yang menunjukkan bahwa proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna.


PRINSIP PENATALAKSANAAN PUERPERIUM

Pasca persalinan, bila pasien menghendaki maka diperkenankan untuk berjalan-jalan, pergi ke kamar mandi bila perlu dan istirahat kembali bila merasa lelah.

Sebagian besar pasien menghendaki untuk beristirahat total ditempat tidur selama 24 jam terutama bila dia juga mengalami cedera perineum yang luas.

Fungsi perawatan medis adalah:

  1. Memberikan fasilitas agar proses penyembuhan fisik dan psikis berlangsung dengan normal.
  2. Mengamati jalannya proses involus uterus.
  3. Membantu ibu untuk dapat memberikan ASI.
  4. Membantu dan memberi petunjuk kepada ibu dalam merawat neonatus.

Tak ada waktu yang baku mengenai lama perawatan pasca persalinan, diperkirakan bahwa semakin lama tinggal di rumah sakit, proses laktasi menjadi semakin baik.


PERAWATAN PUERPERIUM DI RUMAH SAKIT

Ambulasi dini membuat perawatan nifas menjadi lebih sederhana.

Pemeriksaan meliputi :

  • Pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pernafasan secara teratur.
  • Inspeksi perineum setiap hari untuk melihat proses penyembuhan.
  • Pada pasien dengan cedera perineum luas perlu diberikan analgesik.
  • Penilaian jumlah dan sifat lochia.
  • Penilaian proses involusi dengan menentukan tinggi fundus uteri.
  • Analgesik mungkin juga diperlukan bila ada keluhan nyeri akibat kontraksi uterus terutama saat laktasi.


MASALAH TRAKTUS URINARIUS

24 jam pasca persalinan, pasien umumnya menderita keluhan miksi akibat depresi pada reflek aktivitas detrussor yang disebabkan oleh tekanan dasar vesika urinaria saat persalinan.

Keluhan ini bertambah hebat oleh karena adanya fase diuresis pasca persalinan, bila perlu retensio urine dapat diatasi dengan melakukan kateterisasi.

Rortveit dkk (2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan Sectio Caesar.

10% pasien pasca persalinan menderita inkontinensia (biasanya stress inkontinensia) yang kadang-kadang menetap sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan pada otot dasar panggul.

Retensio Urine

  • Sensasi dan kemampuan pengosongan kandung kemih terganggu akibat anaestesi atau analgesi.
  • Ching-chung dkk (2002) : angka kejadian retensio urine pasca persalinan 4%
  • Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dauer catheter selama 24 jam
  • Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka nampaknya ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4jam kemudian , bila volume urine < 200 ml – kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa

Retensio urine kemungkinan oleh karena hematoma atau edema daerah sekitar urtehra sehingga terapi meliputi : antibiotika dan obat anti inflamasi,


MASALAH PENCERNAAN

Sejumlah pasien pasca persalinan mengeluh konstipasi yang biasanya tidak memerlukan intervensi medis. Bila perlu dapat diberi obat pencahar supositoria ringan (dulcolax).

Haemorrhoid yang diderita selama kehamilan akan menyebabkan rasa sakit pasca persalinan dan keadaan ini memerlukan intervensi medis.


NYERI PUNGGUNG

Nyeri punggung sering dirasakan pada trimester ketiga dan menetap setelah persalinan dan pada masa nifas.

Kejadian ini terjadi pada 25% wanita dalam masa puerperium namun keluhan ini dirasakan oleh 50% dari mereka sejak sebelum kehamilan.

Keluhan ini menjadi semakin hebat bila mereka harus merawat anaknya sendiri.


KONTRASEPSI dan STERILISASI

Masa puerperium dini adalah saat terbaik untuk membahas mengenai kontrasepsi.

Masa infertilitas anovulatoar hanya berlangsung selama 5 minggu pada pasien yang tidak memberikan ASI dan 8 minggu pada yang memberikan ASI secara penuh.

Tubektomi dikerjakan saat SC atau maksimum 24 – 48 jam pasca persalinan normal.

Beberapa pasangan menghendaki agar tubektomi dilakukan 6 – 8 minggu pasca persalinan untuk memberikan kesempatan bagi kesehatan anak dan memahami sepenuhnya arti sterilisasi permanen bagi keluarganya.

Kontrasepsi alamiah dimulai segera setelah pasien mendapatkan haid. Perlindungan kontrasepsi alamiah pada pemberi ASI sekitar 98% sampai selama 6 bulan.

Pada pasien non laktasi, pemberian kontrasepsi oral kombinasi ( sediaan kombinasi estrogen < 35 µg dan progestin ) diberikan paling cepat 2 – 3 minggu pasca persalinan, jangan melakukan pemberian yang terlalu dini oleh karena pasien masih dalam “hypercoagulable state”

Pada pasien laktasi dapat diberikan kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin (norethindrone 0.35 mg) atau injeksi Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan agar tidak terjadi penekanan proses laktasi.

Implan Levonorgestrel dapat diberikan setelah laktasi berlangsung dengan lancar (segera atau 6 minggu pasca persalinan), keberatan penggunaan metode ini adalah: perdarahan iregular, mahal dan kesulitan dalam pemasangan atau pengeluaran.

IUD ( copper containing T Cu Ag® , Paraguard t 380A® , Progesterone-releasing Progestasert ®, levonorgestrel-releasing Mirena ® ) sangat efektif dalam pencegahan kehamilan dan sebaiknya dipasang pada kunjungan post partum pertama atau segera setelah persalinan (kejadian ekspulsi sangat tinggi)

Jenis kontrasepsi bagi ibu pada masa laktasi

  1. Kontrasepsi oral jenis ‘Progestine–only’ 2 - 3 minggu pasca persalinan
  2. Depo Provera® 6 minggu pasca persalinan
  3. Implan hormon 6 minggu pasca persalinan
  4. Kontrasepsi oral kombinasi diberikan 6 minggu pasca persalinan dan hanya bila ASI sudah berlangsung dengan baik dan status gizi anak harus diawasi dengan baik


PEMERIKSAAN PASCA PERSALINAN

Kunjungan pasca persalinan pertama (4 – 6 minggu)

  1. Anamnesa mengenai perdarahan pervaginam.
  2. Tekanan darah dan berat badan.
  3. Darah lengkap.
  4. Pemeriksaan payudara:
    1. Pemakaian BH yang sesuai atau memadai.
    2. Kelainan puting dan masalah laktasi.
  5. Pemeriksaan vagina, kondisi hipoestrogen yang menyebabkan kekeringan epitel vagina diatasi dengan pemberian krim estrogen menjelang tidur malam.
  6. Inspeksi servik [ bila perlu dilakukan hapusan papaniculoau].
  7. Pemeriksaan luka perineum.
  8. Pemeriksaan bimanual pada uterus dan adneksa.
  9. Konsultasi mengenai: pekerjaan profesional rutin, metode kontrasepsi, dan perencanaan kesejahteraan dalam keluarga.

LAKTASI dan PEMBERIAN ASI

Selama kehamilan terjadi perkembangan pada payudara. Estrogen menyebabkan bertambahnya ukuran dan jumlah duktus. Progesteron menyebabkan peningkatan jumlah alveolus.

hPL merangsang perkembangan alveolar dan diperkirakan terlibat dalam sintesa casein, lactalbumin dan lactoglobulin dalam sel alveolus.

Proses laktasi selama kehamilan tidak terjadi meskipun hPr meningkat selama kehamilan oleh karena kadar estrogen yang tinggi menyebabkan adanya penguasaan terhadap “binding site” pada alveolus sehingga aktivitas laktogenik dari hPr terhalang.

Pada akhir kehamilan, terjadi sekresi cairan jernih kekuningan yang disebut kolustrum yang mengandung imunoglobulin, produksi kolustrum terus meningkat pasca persalinan dan digantikan dengan produksi ASI.

Kadar estrogen menurun dengan cepat 48 jam pasca persalinan sehingga memungkinkan berlangsungnya aktivitas hPr terhadap sel alveolus untuk inisiasi dan mempertahankan proses laktasi.

Proses laktasi semakin meningkat dengan isapan pada payudara secara dini dan sering oleh karena secara reflektoar, isapan tersebut akan semakin meningkatkan kadar hPr

Emosi negatif [kecemasan ibu bila ASI tak dapat keluar] menyebabkan penurunan sekresi prolaktin melalui proses pelepasan prolactine-inhibiting factor (dopamin) dari hipotalamus.

Pada hari ke 2 dan ke 3 pasca persalinan, hPr merangsang alveolus untuk menghasilkan ASI. Pada awalnya, ASI menyebabkan distensi alveolus dan ductus kecil sehingga payudara menjadi tegang.

image Reflek Prolaktin

REFLEK EJEKSI ASI

image Sel mioepitelial sekitar villi yang sebagian berisi ASI

Keluarnya ASI terjadi akibat kontraksi sel mioepitelial dari alveolus dan ductuli (gambar atas) yang berlangsung akibat adanya reflek ejeksi ASI ( let-down reflex ).

image Reflek ejeksi ASI

Reflek ejeksi ASI diawali hisapan oleh bayi → hipotalamus → hipofisis mengeluarkan oksitosin kedalam sirkulasi darah ibu ( gambar atas)

Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi sel mioepitelial dan ASI disalurkan kedalam alveoli dan ductuli → ductus yang lebih besar → penampungan subareolar.

Oksitosin mencegah keluarnya dopamin dari hipotalamus sehingga produksi ASI dapat berlanjut.

Emosi negatif dan faktor fisik dapat mengurangi reflek ejeksi ASI, tugas perawatan pasca persalinan antara lain meliputi usaha untuk meningkatkan keyakinan seorang ibu bahwa dia mampu untuk memberikan ASI kepada bayinya.

Pernyataan bersama antara WHO dan UNICEF yang dipublikaskan tahun 1989 dibawah memperlihatkan dukungan apa yang diperlukan bagi keberhasilan laktasi.

TEN STEPS TO SUCCESFUL BREASTFEEDING

image


KEBUTUHAN NUTRISI SELAMA LAKTASI

Energi laktasi perhari ± 2095 kJ, kebutuhan energi umumnya dapat terpenuhi dari cadangan lemak ibu.

Bila terdapat kcemasan pada ibu mengenai hal tersebut, dapat disarankan baginya untuk menambahkan asupan nutrisi secukupnya.


MEMPERTAHANKAN PROSES LAKTASI

Cara paling efektif dalam mempertahankan proses laktasi adalah isapan bayi yang reguler sehingga reflek prolaktin dan reflek ejeksi ASI dapat terus terjadi dan distensi alveolus dapat dicegah.

Distensi alveolus menyebabkan sekresi ASI alveolus menjadi tidak efisien dan rasa sakit pada payudara menyebabkan ibu enggan untuk menyusui bayinya.

Dengan demikian pencegahan reflek yang menghambat pengeluaran dopamin dari hipotalamus menghilang dan aktivitas alveolar menjadi berkurang pula.

KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI

Keberhasilan proses laktasi memerlukan beberapa hal :

  1. Terjadi sekresi ASI dalam alveolus.
  2. Reflek ejesi ASI efisien.
  3. Ibu memiliki motivasi untuk memberikan ASI.

Seperti terlihat dalam “ Ten Steps to Succesful Breastfeeding” “ maka keberhasilan laktasi akan terjadi bila :

  1. Bayi diberikan pada ibu untuk menyusui sedini mungkin dan Rooming-in.
  2. Bayi diperkenankan untuk menyusui sesering mungkin.
  3. Setelah ASI keluar, bayi mengisap ASI dengan frekuensi sesuai kebutuhannya termasuk di malam hari sekalipun.
  4. Bayi tidak diberi air atau glukosa tanpa persetujuan dokter atau orang tuanya
  5. Staf perawatan wajib membantu ibu untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses laktasi.

TEHNIK MENYUSUI

Ibu perlu memperoleh petunjuk bagaimana mempertemukan mulut bayi dengan puting susu agar bayi membuka mulut dan mencari lokasi puting susu.

image

Posisi ideal puting susu dalam mulut bayi

(a) dan (b) puting susu dikulum bayi dan

(c) puting berada tempat yang benar dalam mulut bayi

Ibu kemudian menahan payudara dengan puting susu diantara jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga puting menonjol dan bayi dapat menempatkan gusinya pada areola mammae dan bukan pada puting susu (gambar atas) . Cara ini memungkinkan bayi bernafas saat menyusu. (2 buah gambar di bawah)

image

Tehnik memberikan ASi

image

Melepaskan puting dari hisapan bayi

Pada gambar diatas terlihat bagaimana cara ibu melepaskan puting dari mulut bayi tanpa menimbulkan rasa sakit. Cara melepaskan dari isapan tersebut adalah dengan meletakkan jari kelingking kesudut mulut bayi untuk menghentikan isapan sebelum melepaskan mulut bayi dari puting susu.

Sebagian kecil bayi membutuhkan tambahan cairan selain ASI pada 4 hari pertama, bila bayi terlihat mengalami dehidrasi, dapat diberikan air dengan sendok setelah pemberian ASI. Pemberian dengan botol susu harus dihindarkan karena proses pembelajaran bayi untuk menyusu akan terhenti.

OBAT YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN PADA IBU LAKTASI

Tabel 1 Obat yang menimbulkan efek bermakna pada masa laktasi

Jenis Obat

Efek samping

Acebutolol

Hipotensi, bradikardia, takipnea

5-Amonosalicylic acid

Diarrhoea

Aspirin (salicylate)

Acidosis Metabolic

Atenolol

Sianosis, bradikardia

Bromocripitine

Supresi laktasi.

Clemastine

Drowsiness, iritabel, menolak pemberian ASI ,menjerit, kaku kuduk

Ergotamine

Muntah, diarrhoea, kejang

Lithium

A third to half therapeutic blood concentration in infatnts

Phenindione

Anticoagulant-increased prothromnine and partial thromboplastine time in one infant – not used in United States

Phenobarbital

Sedation: infantile spasmes after ewaning from milk containing phenobarbital; methemoglobinemia (one case)

Primidone

Sedasi, masalah nutrisi

Sulfasalazine

Diarea berdarah

Dari : American Academy of Pediatrics and The American College of Obstetrics and Gynecologists, 2002


MENCEGAH dan MENEKAN LAKTASI

Cara sederhana untuk menghentikan laktasi adalah dengan menghentikan laktasi dan menghindari rangsangan pada puting susu.

Meskipun terasa sakit, penumpukan air susu dalam sistem saluran akan dapat menekan produksi ASI dan terjadi reabsorbsi pada ASI.

Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan analgesik.

Penekanan produksi ASI secara medis dengan estrogen atau bromokriptin tidak dianjurkan.


MASALAH PSIKOLOGI PADA MASA NIFAS

Keberadaan bayi tidak jarang justru menimbulkan “stress” bagi beberapa ibu yang baru melahirkan.

Ibu merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi, melanjutkan mengurus suami, setiap malam merasa terganggu dan sering merasakan adanya ketidak mampuan dalam mengatasi semua beban tersebut.

Banyak wanita pasca persalinan menjadi sedih dan emosional secara temporer antara hari 3 – 5 (third day blues) dan kira-kira 10% diantaranya akan mengalami depresi hebat.

“Third Day Blues”

Etiologi tak jelas, diperkirakan karena gangguan keseimbangan hormonal, reaksi eksitasi akibat persalinan dan perasaan tak mampu untuk menjadi seorang ibu.

“Third days blues” dapat berupa :

  • Lanjutan rasa cemas saat kehamilan dan proses persalinan
  • Rasa tak nyaman pada masa nifas dan tak mampu menjadi orangtua.
  • Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna
  • Rasa lelah pasca persalinan dan kurang tidur /istirahat
  • Penurunan gairah seksual atau tidak lagi menarik seperti waktu masih gadis
  • Labilitas emosional.
  • Depresi berat sampai beberapa minggu-bulan.

Penatalaksanaan : terapi medis, diskusi dengan paramedis, penjelaskan mengenai apa yang terjadi dan bila pasien menghendaki maka kunjungan keluarga dibatasi.

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rooming-in dapat mengurangi kejadian “third days blues”

Seksualitas Pasca Persalinan

  • Setelah persalinan, waktu serta perhatian ibu banyak tersita untuk mengurus bayinya.
  • Bila terdapat cedera perineum akibat persalinan, maka vagina dan perineum akan mengalami ketegangan selama beberapa minggu.
  • Gairah seksual seringkali mengalami penurunan.
  • Pada beberapa ibu yang memberikan ASI dapat terjadi penurunan libido dan menderita kekeringan pada vagina.
  • Hubungan seksual bukan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kenikmatan seksual dan wanita tersebut masih dapat menerima rangsangan seksual dalam bentuk sentuhan atau rangsangan lain yang tak jarang berlanjut dengan hubungan seksual intercourse dan dapat menyebabkan terjadinya orgasmus pada wanita.
  • Konsultasi dan advis dari dokter kadang diperlukan bila terdapat penurunan gairah seksual pasca persalinan yang terlalu berat.


Rujukan:

  1. American College of Obstetricians and Gynecologist : Exercise during pregnancy and postpartum periode ACOG Committess Opinion No 267, Januari 2002
  2. American College of Obstetricians and Gynecologist : Breast Feeding: Maternal and infant aspects Educational Bulletin no 258, Juli 2000
  3. Barbosa-Csenick C et al: Lactation mastitis Jama 289:1609, 2003
  4. Chiarelli P, Cockburn J : Promoting urinary incontincnence in womwn after delivery. BMJ 324:1241,2002
  5. Cunningham FG et al : The Puerperium in Williams Obstetrics 22nd ed McGraw Hill, 2005
  6. DeCherney AH. Nathan L : The Normal Puerperium Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003
  7. Hooldcroft A, Snidvongs S, Cason A, et al : Pain and Uterine vontractions during breast feeding in the immediate postpartum periode increased with parity. Pain 104:589, 2003
  8. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
  9. Rotveirt G , Daltveit AK, Hannestead YS, Hunskaars S : Urinary incontinence after vaginal delivery or caesrarean section N Engl J Med 348, 10,2003
  10. Wijma J, Potters AE, Wolf BT, et al: Anatomical and functional changes in the lower urinary tract following spontaneous vaginal delivery. Br J Obstet Gynaecol 110”658, 2003

dr.Bambang Widjanarko,SpOG