Pages

Kamis, 30 Juli 2009

MASA NIFAS

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Fakultas Kedokteran & Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Jakarta



PENDAHULUAN

Puerperium (masa nifas) atau periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu.

Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan.

Puerperium dapat dibagi menjadi :

  • Periode pasca persalinan : 24 jam pasca persalinan.
  • Periode puerperium dini : minggu pertama pasca persalinan.
  • Periode puerperium lanjut : sampai 6 minggu pasca persalinan.


PERUBAHAN FISIOLOGI dan ANATOMI

Perubahan endokrin yang terjadi selama kehamilan akan terjadi secara cepat Hpl- human Placental Lactogen serum tidak terdeteksi dalam waktu 2 hari dan hCG- Human Chorionic Gonadotropin tidak terdeteksi dalam waktu 10 hari pasca persalinan.

Kadar estrogen dan progesteron serum menurun sejak 3 hari pasca persalinan dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari ke 7. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI ; bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan menyebabkan pertumbuhan folikel.

Pada pasien yang memberikan ASI, kadar human Prolactin-hPr akan meningkat.

Sistem kardiovaskular akan kembali pada nilai sebelum kehamilan dalam waktu 2 minggu pasca persalinan.

Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic state” akibat adanya pergeseran cairan ekstravaskular kedalam ruang intravaskular. Volume darah dan plasma normal kembali pada minggu kedua.

Sampai pada 10 hari pertama pasca persalinan, peningkatan faktor pembekuan dalam kehamilan akan menetap dan diimbangi dengan kenaikan aktivitas fibrinolisis.


PERUBAHAN MORFOLOGIS PADA TRAKTUS GENITALIA

Dinding vagina edematous, kebiruan serta kendor dan tonus kembali kearah normal setelah 1 – 2 minggu.

Pada akhir kala III, besar uterus setara dengan ukuran kehamilan 20 minggu dengan berat 1000 gram. Pada akhir minggu pertama berat uterus mencapai 500 gram.

Pada hari ke 12, uterus sudah tidak dapat diraba melalui palpasi abdomen.

image

Perubahan involusi tinggi fundus uteri dan ukuran uterus selama 10 hari pasca persalinan

“placental site” mengecil dan dalam waktu 10 hari diameternya kira-kira 2.5 cm.

Lochia yang terjadi sampai 3 – 4 hari pasca persalinan terdiri dari darah, sisa trofoblas dan desidua coklat kemerahan yang disebut lochia rubra.

Selanjutnya berubah menjadi lochia serosa yang seromukopurulen dan berbau khas.

Selama minggu II dan III, lochia menjadi kental dan putih kekuningan yang disebut lochia alba terdiri dari leukosit dan sel desidua yang mengalami degenerasi. Setelah minggu 5 – 6, sekresi lochia menghilang yang menunjukkan bahwa proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna.


PRINSIP PENATALAKSANAAN PUERPERIUM

Pasca persalinan, bila pasien menghendaki maka diperkenankan untuk berjalan-jalan, pergi ke kamar mandi bila perlu dan istirahat kembali bila merasa lelah.

Sebagian besar pasien menghendaki untuk beristirahat total ditempat tidur selama 24 jam terutama bila dia juga mengalami cedera perineum yang luas.

Fungsi perawatan medis adalah:

  1. Memberikan fasilitas agar proses penyembuhan fisik dan psikis berlangsung dengan normal.
  2. Mengamati jalannya proses involus uterus.
  3. Membantu ibu untuk dapat memberikan ASI.
  4. Membantu dan memberi petunjuk kepada ibu dalam merawat neonatus.

Tak ada waktu yang baku mengenai lama perawatan pasca persalinan, diperkirakan bahwa semakin lama tinggal di rumah sakit, proses laktasi menjadi semakin baik.


PERAWATAN PUERPERIUM DI RUMAH SAKIT

Ambulasi dini membuat perawatan nifas menjadi lebih sederhana.

Pemeriksaan meliputi :

  • Pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pernafasan secara teratur.
  • Inspeksi perineum setiap hari untuk melihat proses penyembuhan.
  • Pada pasien dengan cedera perineum luas perlu diberikan analgesik.
  • Penilaian jumlah dan sifat lochia.
  • Penilaian proses involusi dengan menentukan tinggi fundus uteri.
  • Analgesik mungkin juga diperlukan bila ada keluhan nyeri akibat kontraksi uterus terutama saat laktasi.


MASALAH TRAKTUS URINARIUS

24 jam pasca persalinan, pasien umumnya menderita keluhan miksi akibat depresi pada reflek aktivitas detrussor yang disebabkan oleh tekanan dasar vesika urinaria saat persalinan.

Keluhan ini bertambah hebat oleh karena adanya fase diuresis pasca persalinan, bila perlu retensio urine dapat diatasi dengan melakukan kateterisasi.

Rortveit dkk (2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan Sectio Caesar.

10% pasien pasca persalinan menderita inkontinensia (biasanya stress inkontinensia) yang kadang-kadang menetap sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan pada otot dasar panggul.

Retensio Urine

  • Sensasi dan kemampuan pengosongan kandung kemih terganggu akibat anaestesi atau analgesi.
  • Ching-chung dkk (2002) : angka kejadian retensio urine pasca persalinan 4%
  • Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dauer catheter selama 24 jam
  • Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka nampaknya ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4jam kemudian , bila volume urine < 200 ml – kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa

Retensio urine kemungkinan oleh karena hematoma atau edema daerah sekitar urtehra sehingga terapi meliputi : antibiotika dan obat anti inflamasi,


MASALAH PENCERNAAN

Sejumlah pasien pasca persalinan mengeluh konstipasi yang biasanya tidak memerlukan intervensi medis. Bila perlu dapat diberi obat pencahar supositoria ringan (dulcolax).

Haemorrhoid yang diderita selama kehamilan akan menyebabkan rasa sakit pasca persalinan dan keadaan ini memerlukan intervensi medis.


NYERI PUNGGUNG

Nyeri punggung sering dirasakan pada trimester ketiga dan menetap setelah persalinan dan pada masa nifas.

Kejadian ini terjadi pada 25% wanita dalam masa puerperium namun keluhan ini dirasakan oleh 50% dari mereka sejak sebelum kehamilan.

Keluhan ini menjadi semakin hebat bila mereka harus merawat anaknya sendiri.


KONTRASEPSI dan STERILISASI

Masa puerperium dini adalah saat terbaik untuk membahas mengenai kontrasepsi.

Masa infertilitas anovulatoar hanya berlangsung selama 5 minggu pada pasien yang tidak memberikan ASI dan 8 minggu pada yang memberikan ASI secara penuh.

Tubektomi dikerjakan saat SC atau maksimum 24 – 48 jam pasca persalinan normal.

Beberapa pasangan menghendaki agar tubektomi dilakukan 6 – 8 minggu pasca persalinan untuk memberikan kesempatan bagi kesehatan anak dan memahami sepenuhnya arti sterilisasi permanen bagi keluarganya.

Kontrasepsi alamiah dimulai segera setelah pasien mendapatkan haid. Perlindungan kontrasepsi alamiah pada pemberi ASI sekitar 98% sampai selama 6 bulan.

Pada pasien non laktasi, pemberian kontrasepsi oral kombinasi ( sediaan kombinasi estrogen < 35 µg dan progestin ) diberikan paling cepat 2 – 3 minggu pasca persalinan, jangan melakukan pemberian yang terlalu dini oleh karena pasien masih dalam “hypercoagulable state”

Pada pasien laktasi dapat diberikan kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin (norethindrone 0.35 mg) atau injeksi Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan agar tidak terjadi penekanan proses laktasi.

Implan Levonorgestrel dapat diberikan setelah laktasi berlangsung dengan lancar (segera atau 6 minggu pasca persalinan), keberatan penggunaan metode ini adalah: perdarahan iregular, mahal dan kesulitan dalam pemasangan atau pengeluaran.

IUD ( copper containing T Cu Ag® , Paraguard t 380A® , Progesterone-releasing Progestasert ®, levonorgestrel-releasing Mirena ® ) sangat efektif dalam pencegahan kehamilan dan sebaiknya dipasang pada kunjungan post partum pertama atau segera setelah persalinan (kejadian ekspulsi sangat tinggi)

Jenis kontrasepsi bagi ibu pada masa laktasi

  1. Kontrasepsi oral jenis ‘Progestine–only’ 2 - 3 minggu pasca persalinan
  2. Depo Provera® 6 minggu pasca persalinan
  3. Implan hormon 6 minggu pasca persalinan
  4. Kontrasepsi oral kombinasi diberikan 6 minggu pasca persalinan dan hanya bila ASI sudah berlangsung dengan baik dan status gizi anak harus diawasi dengan baik


PEMERIKSAAN PASCA PERSALINAN

Kunjungan pasca persalinan pertama (4 – 6 minggu)

  1. Anamnesa mengenai perdarahan pervaginam.
  2. Tekanan darah dan berat badan.
  3. Darah lengkap.
  4. Pemeriksaan payudara:
    1. Pemakaian BH yang sesuai atau memadai.
    2. Kelainan puting dan masalah laktasi.
  5. Pemeriksaan vagina, kondisi hipoestrogen yang menyebabkan kekeringan epitel vagina diatasi dengan pemberian krim estrogen menjelang tidur malam.
  6. Inspeksi servik [ bila perlu dilakukan hapusan papaniculoau].
  7. Pemeriksaan luka perineum.
  8. Pemeriksaan bimanual pada uterus dan adneksa.
  9. Konsultasi mengenai: pekerjaan profesional rutin, metode kontrasepsi, dan perencanaan kesejahteraan dalam keluarga.

LAKTASI dan PEMBERIAN ASI

Selama kehamilan terjadi perkembangan pada payudara. Estrogen menyebabkan bertambahnya ukuran dan jumlah duktus. Progesteron menyebabkan peningkatan jumlah alveolus.

hPL merangsang perkembangan alveolar dan diperkirakan terlibat dalam sintesa casein, lactalbumin dan lactoglobulin dalam sel alveolus.

Proses laktasi selama kehamilan tidak terjadi meskipun hPr meningkat selama kehamilan oleh karena kadar estrogen yang tinggi menyebabkan adanya penguasaan terhadap “binding site” pada alveolus sehingga aktivitas laktogenik dari hPr terhalang.

Pada akhir kehamilan, terjadi sekresi cairan jernih kekuningan yang disebut kolustrum yang mengandung imunoglobulin, produksi kolustrum terus meningkat pasca persalinan dan digantikan dengan produksi ASI.

Kadar estrogen menurun dengan cepat 48 jam pasca persalinan sehingga memungkinkan berlangsungnya aktivitas hPr terhadap sel alveolus untuk inisiasi dan mempertahankan proses laktasi.

Proses laktasi semakin meningkat dengan isapan pada payudara secara dini dan sering oleh karena secara reflektoar, isapan tersebut akan semakin meningkatkan kadar hPr

Emosi negatif [kecemasan ibu bila ASI tak dapat keluar] menyebabkan penurunan sekresi prolaktin melalui proses pelepasan prolactine-inhibiting factor (dopamin) dari hipotalamus.

Pada hari ke 2 dan ke 3 pasca persalinan, hPr merangsang alveolus untuk menghasilkan ASI. Pada awalnya, ASI menyebabkan distensi alveolus dan ductus kecil sehingga payudara menjadi tegang.

image Reflek Prolaktin

REFLEK EJEKSI ASI

image Sel mioepitelial sekitar villi yang sebagian berisi ASI

Keluarnya ASI terjadi akibat kontraksi sel mioepitelial dari alveolus dan ductuli (gambar atas) yang berlangsung akibat adanya reflek ejeksi ASI ( let-down reflex ).

image Reflek ejeksi ASI

Reflek ejeksi ASI diawali hisapan oleh bayi → hipotalamus → hipofisis mengeluarkan oksitosin kedalam sirkulasi darah ibu ( gambar atas)

Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi sel mioepitelial dan ASI disalurkan kedalam alveoli dan ductuli → ductus yang lebih besar → penampungan subareolar.

Oksitosin mencegah keluarnya dopamin dari hipotalamus sehingga produksi ASI dapat berlanjut.

Emosi negatif dan faktor fisik dapat mengurangi reflek ejeksi ASI, tugas perawatan pasca persalinan antara lain meliputi usaha untuk meningkatkan keyakinan seorang ibu bahwa dia mampu untuk memberikan ASI kepada bayinya.

Pernyataan bersama antara WHO dan UNICEF yang dipublikaskan tahun 1989 dibawah memperlihatkan dukungan apa yang diperlukan bagi keberhasilan laktasi.

TEN STEPS TO SUCCESFUL BREASTFEEDING

image


KEBUTUHAN NUTRISI SELAMA LAKTASI

Energi laktasi perhari ± 2095 kJ, kebutuhan energi umumnya dapat terpenuhi dari cadangan lemak ibu.

Bila terdapat kcemasan pada ibu mengenai hal tersebut, dapat disarankan baginya untuk menambahkan asupan nutrisi secukupnya.


MEMPERTAHANKAN PROSES LAKTASI

Cara paling efektif dalam mempertahankan proses laktasi adalah isapan bayi yang reguler sehingga reflek prolaktin dan reflek ejeksi ASI dapat terus terjadi dan distensi alveolus dapat dicegah.

Distensi alveolus menyebabkan sekresi ASI alveolus menjadi tidak efisien dan rasa sakit pada payudara menyebabkan ibu enggan untuk menyusui bayinya.

Dengan demikian pencegahan reflek yang menghambat pengeluaran dopamin dari hipotalamus menghilang dan aktivitas alveolar menjadi berkurang pula.

KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI

Keberhasilan proses laktasi memerlukan beberapa hal :

  1. Terjadi sekresi ASI dalam alveolus.
  2. Reflek ejesi ASI efisien.
  3. Ibu memiliki motivasi untuk memberikan ASI.

Seperti terlihat dalam “ Ten Steps to Succesful Breastfeeding” “ maka keberhasilan laktasi akan terjadi bila :

  1. Bayi diberikan pada ibu untuk menyusui sedini mungkin dan Rooming-in.
  2. Bayi diperkenankan untuk menyusui sesering mungkin.
  3. Setelah ASI keluar, bayi mengisap ASI dengan frekuensi sesuai kebutuhannya termasuk di malam hari sekalipun.
  4. Bayi tidak diberi air atau glukosa tanpa persetujuan dokter atau orang tuanya
  5. Staf perawatan wajib membantu ibu untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses laktasi.

TEHNIK MENYUSUI

Ibu perlu memperoleh petunjuk bagaimana mempertemukan mulut bayi dengan puting susu agar bayi membuka mulut dan mencari lokasi puting susu.

image

Posisi ideal puting susu dalam mulut bayi

(a) dan (b) puting susu dikulum bayi dan

(c) puting berada tempat yang benar dalam mulut bayi

Ibu kemudian menahan payudara dengan puting susu diantara jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga puting menonjol dan bayi dapat menempatkan gusinya pada areola mammae dan bukan pada puting susu (gambar atas) . Cara ini memungkinkan bayi bernafas saat menyusu. (2 buah gambar di bawah)

image

Tehnik memberikan ASi

image

Melepaskan puting dari hisapan bayi

Pada gambar diatas terlihat bagaimana cara ibu melepaskan puting dari mulut bayi tanpa menimbulkan rasa sakit. Cara melepaskan dari isapan tersebut adalah dengan meletakkan jari kelingking kesudut mulut bayi untuk menghentikan isapan sebelum melepaskan mulut bayi dari puting susu.

Sebagian kecil bayi membutuhkan tambahan cairan selain ASI pada 4 hari pertama, bila bayi terlihat mengalami dehidrasi, dapat diberikan air dengan sendok setelah pemberian ASI. Pemberian dengan botol susu harus dihindarkan karena proses pembelajaran bayi untuk menyusu akan terhenti.

OBAT YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN PADA IBU LAKTASI

Tabel 1 Obat yang menimbulkan efek bermakna pada masa laktasi

Jenis Obat

Efek samping

Acebutolol

Hipotensi, bradikardia, takipnea

5-Amonosalicylic acid

Diarrhoea

Aspirin (salicylate)

Acidosis Metabolic

Atenolol

Sianosis, bradikardia

Bromocripitine

Supresi laktasi.

Clemastine

Drowsiness, iritabel, menolak pemberian ASI ,menjerit, kaku kuduk

Ergotamine

Muntah, diarrhoea, kejang

Lithium

A third to half therapeutic blood concentration in infatnts

Phenindione

Anticoagulant-increased prothromnine and partial thromboplastine time in one infant – not used in United States

Phenobarbital

Sedation: infantile spasmes after ewaning from milk containing phenobarbital; methemoglobinemia (one case)

Primidone

Sedasi, masalah nutrisi

Sulfasalazine

Diarea berdarah

Dari : American Academy of Pediatrics and The American College of Obstetrics and Gynecologists, 2002


MENCEGAH dan MENEKAN LAKTASI

Cara sederhana untuk menghentikan laktasi adalah dengan menghentikan laktasi dan menghindari rangsangan pada puting susu.

Meskipun terasa sakit, penumpukan air susu dalam sistem saluran akan dapat menekan produksi ASI dan terjadi reabsorbsi pada ASI.

Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan analgesik.

Penekanan produksi ASI secara medis dengan estrogen atau bromokriptin tidak dianjurkan.


MASALAH PSIKOLOGI PADA MASA NIFAS

Keberadaan bayi tidak jarang justru menimbulkan “stress” bagi beberapa ibu yang baru melahirkan.

Ibu merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi, melanjutkan mengurus suami, setiap malam merasa terganggu dan sering merasakan adanya ketidak mampuan dalam mengatasi semua beban tersebut.

Banyak wanita pasca persalinan menjadi sedih dan emosional secara temporer antara hari 3 – 5 (third day blues) dan kira-kira 10% diantaranya akan mengalami depresi hebat.

“Third Day Blues”

Etiologi tak jelas, diperkirakan karena gangguan keseimbangan hormonal, reaksi eksitasi akibat persalinan dan perasaan tak mampu untuk menjadi seorang ibu.

“Third days blues” dapat berupa :

  • Lanjutan rasa cemas saat kehamilan dan proses persalinan
  • Rasa tak nyaman pada masa nifas dan tak mampu menjadi orangtua.
  • Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna
  • Rasa lelah pasca persalinan dan kurang tidur /istirahat
  • Penurunan gairah seksual atau tidak lagi menarik seperti waktu masih gadis
  • Labilitas emosional.
  • Depresi berat sampai beberapa minggu-bulan.

Penatalaksanaan : terapi medis, diskusi dengan paramedis, penjelaskan mengenai apa yang terjadi dan bila pasien menghendaki maka kunjungan keluarga dibatasi.

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rooming-in dapat mengurangi kejadian “third days blues”

Seksualitas Pasca Persalinan

  • Setelah persalinan, waktu serta perhatian ibu banyak tersita untuk mengurus bayinya.
  • Bila terdapat cedera perineum akibat persalinan, maka vagina dan perineum akan mengalami ketegangan selama beberapa minggu.
  • Gairah seksual seringkali mengalami penurunan.
  • Pada beberapa ibu yang memberikan ASI dapat terjadi penurunan libido dan menderita kekeringan pada vagina.
  • Hubungan seksual bukan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kenikmatan seksual dan wanita tersebut masih dapat menerima rangsangan seksual dalam bentuk sentuhan atau rangsangan lain yang tak jarang berlanjut dengan hubungan seksual intercourse dan dapat menyebabkan terjadinya orgasmus pada wanita.
  • Konsultasi dan advis dari dokter kadang diperlukan bila terdapat penurunan gairah seksual pasca persalinan yang terlalu berat.


Rujukan:

  1. American College of Obstetricians and Gynecologist : Exercise during pregnancy and postpartum periode ACOG Committess Opinion No 267, Januari 2002
  2. American College of Obstetricians and Gynecologist : Breast Feeding: Maternal and infant aspects Educational Bulletin no 258, Juli 2000
  3. Barbosa-Csenick C et al: Lactation mastitis Jama 289:1609, 2003
  4. Chiarelli P, Cockburn J : Promoting urinary incontincnence in womwn after delivery. BMJ 324:1241,2002
  5. Cunningham FG et al : The Puerperium in Williams Obstetrics 22nd ed McGraw Hill, 2005
  6. DeCherney AH. Nathan L : The Normal Puerperium Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003
  7. Hooldcroft A, Snidvongs S, Cason A, et al : Pain and Uterine vontractions during breast feeding in the immediate postpartum periode increased with parity. Pain 104:589, 2003
  8. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
  9. Rotveirt G , Daltveit AK, Hannestead YS, Hunskaars S : Urinary incontinence after vaginal delivery or caesrarean section N Engl J Med 348, 10,2003
  10. Wijma J, Potters AE, Wolf BT, et al: Anatomical and functional changes in the lower urinary tract following spontaneous vaginal delivery. Br J Obstet Gynaecol 110”658, 2003

dr.Bambang Widjanarko,SpOG

ENDOMETRIOSIS

dr.Bambang widjanarko,SpOG

ENDOMETRIOSIS adalah penyakit jinak dimana kelenjar dan stroma endometrium berada di luar rongga maupun dinding uterus

Meskipun endometriosis merupakan penyakit yang sering ditemukan, pengetahuan mengenai penyakit ini amat terbatas. Masih banyak silang pendapat mengenai asal muasal, gambaran patologi, diagnosis dan prognosis endometriosis.

Endometriosis merupakan pengetahuan ginekologi yang amat penting mengingat bahwa angka kejadian, gejala dan keluhan, hubungan dengan gangguan kesuburan (infertiliti) serta potensi invasi pada organ sekitar seperti saluran pencernaan dan saluran air kemih.

ANGKA KEJADIAN

Angka kejadian endometriosis lira-kira 1 – 2% wanita usia reproduksi, akan tetapi angka kejadian endometriosis pada pasien dengan gangguan kesuburan 20 lebih besar.

Penderita endometriosis umumnya berusia 30 an , nulipara dan infertile

PATOGENESIS

Penyebab pasti endometriosis tidak jelas diketahui dan tidak ada satu penjelasan yang dapat menjelaskan semua gambaran endometriosis yang ada.

Predisposisi genetik memainkan peranan penting. Terdapat 3 hipotesis yang digunakan untuk dapat menjelaskan berbagai manifestasi endometriosis dan lokasi penyakit yang berbeda

1. Teori menstruasi retrograde dari SAMPSON yang mempostulasikan bahwa terdapat fragmen endometriosis mengalir balik (retrograde) kedalam saluran indung telur (tuba falopii) selama menstruasi sehingga terjadi implantasi fragmen endometriosis pada rongga panggul.

Dukungan terhadap teori ini adalah kenyatanaan bahwa kadang-kadang dokter dapat melihat adanya aliran darah yang keluar dari fimbriae saat pemeriksaan laparoskopi pasien yang sedang haid. Untuk menjelaskan adanya penyebaran endometriosis yang jauh ( di paru, kening atau ketiak ) diajukan teori penyebaran melaui aliran darah (hematogen)

2. Teori Metaplasia Mullerian dari MEYER , menyatakan bahwa endometriosis berasal dari tranformasi metaplastik dari mesotelium peritoneum kedalam endometrium dibawah pengaruh rangsangan tertentu.

3. Teori penyebaran melalaui saluran getah bening ( limfatogenik ) dari HALBUN yang memperkirakan bahwa jaringan endometriosis berasal dari aliran getah bening dari uterus yang mengalami transportasi keberbagai bagian di panggul. Jaringan endometriosis ditemukan dalam saluran limfe pelvik pada 20% penderita endometriosis.

Pertanyaan penting yang sulit dijawab adalah mengapa endometriosis hanya terjadi pada wanita tertentu dan tidak pada semua wanita, untuk menjawab pertanyaan ini diajukan argumentasi adanya predisposisi genetik atau imunologi pada wanita-wanita tertentu sehingga rentan terhadap kejadian endometriosis.

GAMBARAN KLINIK

Pada sebagian besar kasus, gambaran klinik terjadi akibat adanya penyakit dalam panggul. Endometriosis seringkali menyebabkan dismenorea sekunder berupa nyeri mengejang yang terus menerus dan menjadi berat sebelum dan selama hari pertama menstruasi, bila perdarahan menstruasi banyak dan disertai dengan keluarnya gumpalan darah maka rasa nyeri akan menjadi lebih hebat

Sebagai tambahan, terdapat pula keluhan dispareunia (nyeri saat sanggama ) yang terkait dengan deposit fragmen endometriotik dalam cavum Douglassi atau endometrioma dalam ovarium ( chocolate cyst )

Sebagian pasien juga mengeluhkan diskesia ( nyeri saat buang air besar ) akibat adanya lesi endometriosis pada ligamentum sacrouterina, cavum Douglassi, rectum, colong sigmoid. Rasa nyeri saat buang air besar terjadi akibat feces yang melintasi ligamentum sacro uterina

Bercak premenstruasi dan pascamenstruasi merupakan gejala khas endometriosis

Salah satu pertanyaan besar yang sulit dijawab adalah tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan luasnya lesi endometriosis.

PEMERIKSAAN

Diagnosa klinik endometriosis diperkuat dengan adanya temuan :

  • Penebalan ligamen panggul khususnya pada ligamentum sacrouterina
  • Uterus retroversi
  • Pembesaran uterus dan ovarium
  • Fornik lateral dan posterior kaku
  • Nyeri saat uterus ditekan ( seperti keluhan dispareunia )

Namun gambaran diatas tidak patognomonik untuk endometriosis dan sebaliknya tidak adanya gejala diatas tidak berarti bukan endometriosis.

DIAGNOSA BANDING

Diagnosa banding utama pada endometriosis akut adalah :

  1. Penyakit radang panggul menahun
  2. Salpingitus akut berulang
  3. Neoplasma ovarium jinak atau ganas
  4. Kehamilan ektopik

ENDOMETRIOSIS dan INFERTILITAS

Endometriosis seringkali ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan laparoskopi pasien infertiliti yang tidak memperlihatkan gejala endometriosis

Endometriosis berat dapat menyebabkan infertilitas akibat adanya perlekatan periovarian dan peritubuler atau kerusakan hebat pada indung telur. Secara teoritis, output prostaglandin yang tinggi akan menyebabkan gangguan motilitas tuba atau terganggunya spermatozoa akibat adanya reaksi imunologi.

Tabel

Mekanisme endometriosis menyebabkan penurunan fertilitas

Sistem

Mekanisme

Fungsi koitus

Dispareunia ( menurunkan frekuensi sanggama )

Fungsi sperma

Inaktivasi sperma dengan antibodi tertentu

Fagositosis sperma dengan makrofag

Fungsi tuba falopii

Kerusakan fimbriae

Penurunan motilitas tuba akibat prostaglandin

Fungsi ovarium

Anovulasi

Sindroma akibat luteinisasi folikel yang tidak pecah

Luetolisis akibat Prostaglandin F2 α

Pelepasan gonadotropin yang terganggu

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan endometriosis tergantung pada beberapa hal :

  • Kepastian diagnosis
  • Beratnya keluhan
  • Luasnya penyakit
  • Keinginan untuk mendapatkan anak
  • Usia pasien
  • Gangguan pada saluran pencernaan dan atau saluran air seni

Terapi endometriosis diberikan atas adanya rasa nyeri panggul, dismenorea, dispareunia, perdarahan abnormal, kista ovarium dan infertiliti akibat distorsi yang luas pada tuba falopii dan ovarium

Intervensi pembedahan diperlukan bila :

  1. Ukuran endometrioma mencapai 3 cm
  2. Distorsi anatomi yang luas
  3. Menyangkut usus atau kandung kemih
  4. Perlekatan hebat

Pembedahan mungkin dapat memperbaiki tingkat fertilitas pada penderita endometriosis. Terapi medik umumnya merupakan terapi lini pertama pada penderita endometriosis

TERAPI PEMBEDAHAN

Pembedahan komprehensif yang sering dilakukan adalah histerektomi abdominal total, salfingo ovarektomi bilateral disertai dengan pengangkatan sarang-sarang endometriosis pada peritoneum dan pelepasan pelekatan ( lisis )

Akibat luasnya perlekatan, tehnik pembedahan menjadi sulit. Bila lesi endometriosis mengenai cavum Douglassi dan ligamentum sacrouterina, ureter proksimal, kandung kemih dan colon sigmoid maka pembedahan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Bila ureter menjadi buntu, maka reseksi dan ureteroplasti harus dilakukan untuk mempertahankan fungsi ginjal.

Obstruksi rectosigmoid atau obstruksi usus halus yang terjadi harus di reseksi untuk memulihkan fungsi saluran pencernaan.

Kadang-kadang, masih diperlukan preservasi organ reproduksi. Pada situasi ini bedah laparoskopi atau bedah terbuka diperlukan untuk menghancurkan sarang-sarang endometriosis dan melepaskan perlekatan.

Terapi pre operatif dengan GnRH agonis 3 – 6 bulan sebelumnya dapat memperbaiki keberhasilan pembedahan.

Peranan terapi medis pasca pembedahan masih menjadi bahan perdebatan meskipun telah terdiagnosa adanya sisa-sisa penyakit saat pembedahan.

Medroxyprogesteron Acetat Depo, kontrasepsi oral dan IUD levonogestrel merupakan opsi-opsi menarik untuk pengobatan endometriosis.

TERAPI MEDIK

Terapi harus ditujukan untuk membebaskan pasien dari keluhan yang ada dan menurunkan resiko progresivitas penyakit.

Dismenorea akibat endometriosis dapat diatasi dengan pemberian NSAID (non steroid anti inflamatory drug (asam mefenamat, ibuprofen) dan menurunkan jumlah darah haid dengan terapi hormonal

Untuk mengatasi nyeri panggul, digunakan terapi jangka pendek berupa pemberian GnRH agonis atau Danazol.

Danazol adalah derivat androgen yang digunakan untuk menimbulkan ‘pseudomenopause’ untuk menekan gejala endometriosis bila kesuburan (fertilitas) tidak menjadi pertimbangan. Obat ini diberikan selama 6 – 9 bulan dengan dosis 600 – 800 mg per hari untuk menekan menstruasi.

Kontrasepsi oral dan medroksiprogesteron acetat peroral lebih efektif pada kasus endometriosis yang disertai rasa nyeri dibandingkan pemberian plasebo.

Levonogestrel IUD dapat menurunkan keluhan dismenorea dan bermanfaat untuk menyebabkan regresi pada sarang endometriosis di cavum Douglass tanpa mempengaruhi kadar estrogen dalam serum

TERAPI FERTILITAS

Tidak ada bukti bahwa terapi medik pada endometriosis bernilai pada kasus subfertilitas. Ablasi sirurgis pada kasus endometriosis ringan tidak memperbaiki fertilitas, namun manfaat tindakan tersebut untuk kasus fertilitas berat tidak diketahui secara pasti.

Terapi pembedahan untuk kista endometriotik besar memperbaiki kemungkinan terjadinya kehamilan dan memungkinkan tindakan intervensi transvaginal bila akan dilakukan IVF sebagai bagian dari ‘assisted reproductive technique’


Bacaan yang dianjurkan

  1. Child TJ, Tan SL : Endometriosis : Aetiology, pathogenesis and treatment. Drugs 61:1773 – 1750, 2001
  2. Gambone JC, Mittman BS, Munro MG et al : Consensus statement for the management of chronic pelvic pain and endometriosis : Proceeding of an expert panel consensus process. Fertil Steril 78:961-972, 2002
  3. Harada T, Momoeda M, Taketani Y, Hoshiai H, Terakawa N (November 2008). "Low-dose oral contraceptive pill for dysmenorrhea associated with endometriosis: a placebo-controlled, double-blind, randomized trial". Fertility and Sterility 90 (5): 1583–8. doi:10.1016/j.fertnstert.2007.08.051. PMID 18164001
  4. Kaiser A, Kopf A, Gericke C, Bartley J, Mechsner S. (16 Jan 2009). "The influence of peritoneal endometriotic lesions on the generation of endometriosis-related pain and pain reduction after surgical excision.". Arch Gynecol Obstet.. doi:10.1007/s00404-008-0921-z. PMID 19148660
  5. Olive DL, Prits EA : Treatment of endometriosis. N Engl J Med 345 : 266 – 275, 2001

Rabu, 29 Juli 2009

Perdarahan Uterus Disfungsi

dr.Bambang Widjanarko SpOG


PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI : Perdarahan uterus abnormal pada wanita yang terjadi pada masa antara menarche dan menopause yang tidak berhubungan dengan :

  • Obat-obatan
  • Kelainan darah
  • Penyakit sistemik
  • Trauma
  • Keganasan
  • Kehamilan

Perdarahan uterus abnormal hampir selalu disebabkan oleh gangguan poros hormonal hipotalamus- hipofisis – ovarium

Diagnosa PUD umumnya dibuat setelah penyebab organik dari PUA disingkirkan.

Perdarahan pada umumnya berasal dari endometrium stadioum proliferatif.

Pada sebagian besar kasus, PUD berkaitan dengan :

  • Siklus ovarium yang anovulasi atau ologiovulasi ( misal pada PCOS
  • Tingkat kadar estrogen yang tidak sebanding dengan kadar progesteron

POLA PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI :

POLIMENOREA : frekuensi haid yang abnormal yang berlangsung setiap < 24 hari

MENORAGIA : Haid yang berlebihan dan berkepanjangan ( > 80 ml dan berlangsung > 7 hari ) namun dengan siklus yang normal

METRORAGIA : Episode perdarahan yang tidak beraturan

MENOMETRORAGIA : Perdarahan uterus yang tidak teratur dan jumlah berlebihan

Sebagian besar kejadian PUD terjadi pada masa sekitar menarche (usia 11 – 14 tahun ) atau sekitar menopause ( usia 45 – 50 tahun .

Pada masa perimenopause , perdarahan uterus anovulasi seringkali disebabkan oleh menurunnya kapasitas ovarium.

Pada masa remaja, perdarahan anovulasi sering disebabkan oleh kegagalan sistem hipotalamus – hipofisis untuk merespon mekanisme umpan balik positif dari estrogen.

Proses normal yang berlangsung pada siklus haid yang fisiologis :

  1. Kadar estrogen meningkat secara gradual sehingga endometrium tumbuh dengan baik pada stadium proliferasi
  2. 24 jam pasca kenaikan mendadak (surge) dari hormon LH – luteiniozing hormon, terjadi ovulasi dan diikuti dengan pembentukan corpus luteum yang menghasilkan progesteron
  3. Pada fase luteal (fase sekresi) , terdapat kenaikan kadar prostaglandin F2α (vasokonstriktor kuat) yang menyebabkan terjadinya iskemia endometrium

Pada siklus yang anovulasi, kadar prostaglandine dalam endometrium non-sekresi rendah sehingga periode haid tidak berlangsung secara efisien.

Siklus anovulasi (kadar estrogen tidak diimbangi dengan kadar progesteron yang memadai) yang berulang akan menyebabkan hiperplasia atau karsinoma endometrium.

DIAGNOSA

Diagnosis PUD dibuat dengan menyingkirkan berbagai penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Kemungkinan kehamilan harus terlebih dulu disingkirkan

PENYEBAB NON DISFUNGSIONAL DARI PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL :

1. Iatrogenik :

  1. Estrogen eksogen ( kontraspsi oral )
  2. Aspirin
  3. Heparin
  4. Tamoxifen
  5. IUD

2. Diskrasia darah :

  1. Tromobositopenia
  2. Fibrinolisin meningkat
  3. Penyakit autoimune
  4. Leukoemia
  5. Penyakit Von Willebrand

3. Sistemik :

  1. Penyakit hepar (metabolisme estrogen terganggu )
  2. Penyakit ginjal (hiperprolaktinemia)
  3. Penyakit tiroid

4. Trauma :

  1. Laserasi
  2. Abrasi
  3. Benda asing

5. Penyakit organik :

  1. Komplikasi kehamilan
  2. Mioma uteri
  3. Keganasan servik / corpus uteri
  4. Polip endometrium
  5. Adenomiosis
  6. Endometritis
  7. Hiperplasia endometrium

Pemeriksaan penting untuk menegakkan diagnosis PUD :

  1. Ultrasonografi pelvik
  2. Biopsi endometrium

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa PUD :

1. Pemeriksaan laboratorium :

  1. Darah Lengkap
  2. Hitung trombosit
  3. Serum Iron dan Iron – binding globulin
  4. Prothromibin dan partial prothrombine time
  5. Bleeding tine
  6. hCG urine
  7. Fungsi tiroid
  8. Progesteron serum
  9. Fungsi hepar
  10. Kadar prolaktin
  11. Kadar FSH

2. Prosedur diagnostik :

  1. Sitologi servik ( papaniculoau smear )
  2. Biopsi endometrium
  3. Ultrasonografi panggul
  4. Histeroskopi

PENATALAKSANAAN

  • Penatalaksanaan hormonal
  • Perdarahan berat pada masa menarche dan perimenopause seringkali memerlukan estrogen dosis tinggi ( kadang-kadang diberikan intravena)
  • Perdarahan yang ringan : estrogen dosis rendah per oral yang diikuti atau disertai dengan progestin, bila perdarahan masih belum berhenti perlu dilakukan D & C
  • PUD seringkali memerlukan terapi dengan estrogen siklis 25 hari dan pada hari ke 10 – 15 dilanjutkan dengan pemberian progestin
  • Pemberian progestin secara siklis digunakan pada pasien usia muda yang diperkirakan sudah memiliki kadar estroen endogen cukup untuk melakukan sensitisasi reseptor progesteron
  • Pada pasien yang lebih ‘tua’ yang tidak memberikan respon terhadap obat secara memadai dan tidak menghendaki kehamilan lagi dapat dilakukan tindakan radikal yang permanen:
    • Ablasi endometrium
    • Histerektomi

PENATALAKSANAAN HORMONAL UNTUK PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI :

1. PERDARAHAN MASIF :

25 mg estrogen conjugated intravena

2. PENATALAKSANAAN LANJUTAN PASCA PENGENDALIAN PERDARAHAN MASIF :

  • Conjugated estrogen 2.5 mg peroral / hari selama 25 hari
  • Bila perdarahan masih berulang atau meningkat , dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat
  • Tambahkan 10 mg medroxyprogesteron acetat (MPA) pada 10 hari terakhir terapi.
  • Perdarahan lucut terjadi 5 – 7 hari setelah terapi berhenti

3. PENATALAKSANAAN MENOMETRORAGIA MODERAT DENGAN KOMBINASI ESTROGEN PROGESTIN :

  • Estrogen conjugated 1.25 mg peroral selama 25 hari disertai dengan MPA 10 mg untuk 10 hari terakhir (hari ke 15 – 25 )
  • Kontrasepsi oral selama 21 hari (perdarahan lucut 7 hari kemudian )
  • PROGESTIN SIKLIS : 10 mg MPA 10 – 15 hari setiap bulan selama 3 bulan berturut-turut , perdarahan lucut terjadi 5 – 7 hari pasca penghentian obat


Rujukan Kepustakaan :

  1. [Guideline] James AH, Kouides PA, Abdul-Kadir R, Edlund M, Federici AB, Halimeh S, et al. Von Willebrand disease and other bleeding disorders in women: Consensus on diagnosis and management from an international expert panel. Am J Obstet Gynecol. May 28 2009;[Medline]. [Full Text].
  2. Bayer SR, DeCherney AH. Clinical manifestations and treatment of dysfunctional uterine bleeding. JAMA. Apr 14 1993;269(14):1823-8. [Medline].
  3. Herbst A, Mishell D, Stenchever M. Abnormal uterine bleeding. In: Comprehensive Gynecology. 2nd ed. Mosby-Year Book; 1992:1083-1097.
  4. Johnson CA. Making sense of dysfunctional uterine bleeding. Am Fam Physician. Jul 1991;44(1):149-57. [Medline].
  5. Physician's Desk Reference. 50th ed. Medical Economics Books; 1996.
  6. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Complications of pregnancy. In: William's Obstetrics. 19th ed. McGraw-Hill Professional Publishing; 1993:819-820.
  7. Rosenfeld JA. Treatment of menorrhagia due to dysfunctional uterine bleeding. Am Fam Physician. Jan 1996;53(1):165-72. [Medline].
  8. Seamen C, Slovis C. Abnormal vaginal bleeding in the nonpregnant patient. Emerg Med Rep. 1996;17:219-226. [Medline].

Selasa, 28 Juli 2009

FISIOLOGI JANIN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Usia konsepsi dalam minggu lazim digunakan untuk menyatakan status perkembangan embrio.

Usia konsepsi dapat ditentukan dengan mengukur janin dan umumnya ditentukan berdasarkan pengukuran crown-rump length melalui pemeriksaan ultrasonografi.

PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN

Selama 8 minggu pertama, terminologi embrio digunakan terhadap perkembangan organisme oleh karena pada masa ini semua organ besar sedang dibentuk

Setelah 8 minggu, terminologi janin digunakan oleh karena sebagian besar organ sudah dibentuk dan telah masuk kedalam tahap pertumbuhan dan perkembangan lanjut.

Janin dengan berat 500 – 1000 gram (22-23 minggu) disebut imature. Dari minggu 28 – 36 disebut preterm dan janin aterm adalah bila usia kehamilan lebih dari 37 minggu.

Kehamilan 8 minggu

  • Panjang 2.1 – 2.5 cm
  • Berat 1 gram
  • Bagian kepala lebih dari setengah tubuh janin
  • Dapat dikenali lobus hepar
  • Ginjal mulai terbentuk
  • Sel darah merah terdapat pada yolc sac dan hepar

Kehamilan 12 minggu

  • Panjang 7 – 9 cm
  • Berat 12 – 15 gram
  • Jari-jari memiliki kuku
  • Genitalia eksterna sudah dapat dibedakan antara laki dan perempuan
  • Volume cairan amnion 30 ml
  • Peristaltik usus sudah terjadi dan memilki kemampuan menyerap glukosa

Kehamilan 16 minggu

  • Panjang 14 – 17 cm
  • Berat 100 gram
  • Terdapat HbF
  • Pembentukan HbA mulai terjadi

Kehamilan 20 minggu

  • Berat 300 gram
  • Detik jantung dapat terdengar dengan menggunakan stetoskop DeLee
  • Terasa gerakan janin
  • Tinggi fundus uteri sekitar umbilikus

Kehamilan 24 minggu

  • Berat 600 gram
  • Timbunan lemak mulai terjadi
  • Viabilitas mungkin dapat tercapai meski amat jarang terjadi

Kehamilan 28 minggu

  • Berat 1050 gram ; panjang 37 cm
  • Gerakan pernafasan mulai terlihat ; surfactan paru masih sangat rendah

Kehamilan 32 minggu

  • Berat 1700 gram dan panjang 42 cm
  • Persalinan pada periode ini 5 dan 6 neonatus dapat bertahan hidup

Kehamilan 36 minggu

  • Berat 2500 gram dan panjang 47 cm
  • Gambaran kulit keriput lenyap
  • Kemungkinan hidup besar

Kehamilan 40 minggu

  • Berat 3200 – 3500 gram ; panjang 50cm
  • Diameter biparietal 9.5 cm

NUTRISI INTRAUTERIN

Pertumbuhan janin ditentukan sejumlah faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang penting adalah perfusi plasenta dan fungsi plasenta. Faktor gizi ibu bukan faktor terpenting, kecuali pada keadaan starvasi hebat. Gangguan gizi menahun dapat menyebabkan terjadinya anemia dan BBLR – berat badan lahir rendah

Energi yang diperoleh janin dipergunakan untuk pertumbuhan dan terutama berasal dari glukosa.

Kelebihan pasokan karbohidrat di konversi menjadi lemak dan konversi ini terus meningkat sampai aterm.

Sejak kehamilan 30 minggu, hepar menjadi lebih efisien dan mampu melakukan konversi glukosa menjadi glikogen yang ditimbun di otot jantung otot gerak dan plasenta. Bila terjadi hipoksia, janin memperoleh energi melalui glikolisis anerobik yang berasal dari dari cadangan dalam otot jantung dan plasenta.

Cadangan lemak janin dengan berat 800 gram (kehamilan 24 – 26 minggu) kira 1% dari BB ; pada kehamilan 35 minggu cadangan tersebut sekitar 15% dari BB.

Plasenta memiliki kemampuan untuk “clears” bilirubin dan produk metabolit lain melalui aktivitas dari enzym transferase.

Janin menghasilkan protein spesifik yang disebut sebagai alfafetoprotein - AFP dari hepar. Puncak kadar AFP tercapai pada kehamilan 12 – 16 minggu dan setelah itu terus menurun sampai aterm. Protein tersebut disekresi melalui ginjal janin dan ditelan kembali untuk mengalami degradasi dalam usus. Bila janin mengalami gangguan menelan (misalnya pada janin anensepalus atau kelainan NTD’s lain) maka kadar serum AFP tersebut meningkat.

CAIRAN AMNION

Volume cairan amnion saat aterm kira-kira 800 ml dan pH 7.2

Gambar dibawah menunjukkan jalur pertukaran dalam cairan amnion:

clip_image002

Gambar 1. Pertukaran bahan terlarut dan air dalam cairan amnion

Polihidramnion (hidramnion) : volume air ketuban > 2000 ml, dapat terjadi pada kehamilan normal akan tetapi 50% keadaan ini disertai dengan kelainan pada ibu atau janin.

Oligohidramnion secara objektif ditentukan dengan pengukuran kantung terbesar dengan ultrasonografi yang menunjukkan angka kurang dari 2 cm x 2 cm atau jumlah dari 4 kuadran total kurang dari 5 cm ( amniotic fluid index ).

Oligohidramnion sering berkaitan dengan :

  • Janin kecil
  • Agenesis renal
  • Displasia traktus urinarius

‘Amniotic fluid marker’

Alfafetoprotein berasal dari janin, kadar AFP dalam cairan amnion dan serum maternal mempunyai nilai prediktif yang tinggi dalam diagnosa prenatal NTD’s dan kelainan kongenital lain.

Kadar MS-AFP yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan kadar protein cairan amnion dan kemungkinan adanya NTD’s

SISTEM KARDIOVASKULAR

Perubahan mendadak dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan penyesuaian sirkulasi neonatus berupa :

  • pengalihan aliran darah dari paru,
  • penutupan ductus arteriosus Bottali dan foramen ovale serta
  • obliterasi ductus venosus Arantii dan vasa umbilikalis.

Sirkulasi bayi terdiri dari 3 fase :

  1. Fase intrauterin dimana janin sangat tergantung pada plasenta
  2. Fase transisi yang dimulai segera setelah lahir dan tangisan pertama
  3. Fase dewasa yang umumnya berlangsung secara lengkap pada bulan pertama kehidupan

Fase intrauterin

Vena umbilikalis membawa darah yang teroksigenasi dari plasenta menuju janin (gambar 2 dan 3 )

Lebih dari 50% cardiac out-put berjalan menuju plasenta melewati arteri umbilikalis. Cardiac out-put terus meningkat sampai aterm dengan nilai 200 ml/menit. Frekuensi detak jantung untuk mempertahankan cardiac output tersebut 110 – 150 kali per menit.

Tekanan darah fetus terus meningkat sampai aterm, pada kehamilan 35 minggu tekanan sistolik 75 mmHg dan tekanan diastolik 55 mmHg

Sel darah merah, kadar hemoglobin dan “packed cell volume” terus meningkat selama kehamilan. Sebagian besar eritrosit mengandung HbF

Pada kehamilan 15 minggu semua sel darah merah mengandung HbF. Ada kehamilan 36 minggu, terdapat 70% HbF dan 30% Hb A.

HbF memiliki kemampuan mengikat oksogen lebih besar dibanding HbA. HbF lebih resisten terhadap hemolisis namun lebih rentan terhadap trauma.

clip_image004

Gambar 2. Sirkulasi janin

clip_image005

Gambar 3. Transfer O2 dan CO2 plasenta

Fase transisi

Saat persalinan, terjadi dua kejadian yang merubah hemodinamika janin

  1. Ligasi talipusat yang menyebabkan kenaikan tekanan arterial
  2. Kenaikan kadar CO2 dan penurunan PO2 yang menyebabkan awal pernafasan janin

Setelah beberapa tarikan nafas, tekanan intrathoracal neonatus masih rendah (-40 sampai – 50 mmHg) ; setelah jalan nafas mengembang, tekanan meningkat kearah nilai dewasa yaitu -7 sampai -8 mmHg.

Tahanan vaskular dalam paru yang semula tinggi terus menurun sampai 75 – 80%. Tekanan dalam arteri pulmonalis menurun sampai 50% saat tekanan atrium kiri meningkat dua kali lipat.

Sirkulasi neonatus menjadi sempurna setelah penutupan ductus arteriousus dan foramen ovale berlangsung, namun proses penyesuaian terus berlangsung sampai 1 – 2 bulan kemudian.

Fase Ekstrauterin

Ductus arteriousus umumnya mengalami obliterasi pada awal periode post natal sebagai reflek adanya kenaikan oksigen dan prostaglandin.

Bila ductus tetap terbuka, akan terdengar bising crescendo yang berkurang saat diastolik (“machinery murmur”) yang terdengar diatas celah intercosta ke II kiri.

Obliterase foramen ovale biasanya berlangsung dalam 6 – 8 minggu. Foramen ovale tetap ada pada beberapa individu tanpa menimbulkan gejala. Obliterasi ductus venosus dari hepar ke vena cava menyisakan ligamentum venosum. Sisa penutupan vena umbilikalis menjadi ligamentum teres hepatis.

Hemodinamika orang dewasa normal berbeda dengan janin dalam hal :

  1. Darah vena dan arteri tidak bercampur dalam atrium
  2. Vena cava hanya membawa darah yang terdeoksigenasi menuju atrium kanan, dan selanjutnya menuju ventrikel kanan dan kemudian memompakan darah kedalam arteri pulmonalis dan kapiler paru
  3. Aorta hanya membawa darah yang teroksigenasi dari jantung kiri melalui vena pulmonalis untuk selanjutnya di distribusikan keseluruh tubuh janin.

FUNGSI RESPIRASI

Pada kehamilan 22 minggu, sistem kapiler terbentuk dan paru sudah memiliki kemampuan untuk melakukan pertukaran gas.

Pada saat aterm, sudah terbentuk 3 – 4 generasi alvoulus. Epitel yang semula berbentuk kubis merubah menjadi pipih saat pernafasan pertama.

Pada kehamilan 24 minggu, cairan yang mengisi alvolus dan saluran nafas lain. Saat ini, paru mengeluarkan surfactan lipoprotein yang memungkinkan berkembangnya paru janin setelah lahir dan membantu mempertahankan volume ruangan udara dalam paru. Sampai kehamilan 35 minggu jumlah surfactan masih belum mencukupi dan dapat menyebabkan terjadinya hyalin membrane disease.

Janin melakukan gerakan nafas intrauterin yang menjadi semakin sering dengan bertambahnya usia kehamilan

Pertukaran gas pada janin berlangsung di plasenta. Pertukaran gas sebanding dengan perbedaan tekanan partial masing-masing gas dan luas permukaan dan berbanding terbalik dengan ketebalan membran. Jadi plasenta dapat dilihat sebagai “paru” janin intrauterin.

Tekanan parsial O2 (PO2) darah janin lebih rendah dibandingkan darah ibu, namun oleh karena darah janin mengandung banyak HbF maka saturasi oksigen janin yang ada sudah dapat mencukupi kebutuhan.

PCO2 dan CO2 pada darah janin lebih tinggi dibandingkan darah ibu sehingga CO2 akan mengalami difusi dari janin ke ibu.

Aktivitas pernafasan janin intrauterin menyebabkan adanya aspirasi cairan amnion kedalam bronchiolus, untuk dapat masuk jauh kedalam alveolus diperlukan tekanan yang lebih besar. Episode hipoksia berat pada kehamilan lanjut atau selama persalinan dapat menyebabkan “gasping” sehingga cairan amnion yang kadang bercampur dengan mekonium masuk keparu bagian dalam.

FUNGSI GASTROINTESTINAL

Sebelum dilahirkan, traktus gastrointestinal tidak pernah menjalankan fungsi yang sebenarnya.

Sebagian cairan amnion yang ditelan berikut materi seluler yang terkandung didalamnya melalui aktivitas enzymatik dan bakteri dirubah menjadi mekonium. Mekonium tetap berada didalam usus kecuali bila terjadi hipoksia hebat yang menyebabkan kontraksi otot usus sehingga mekonium keluar dan bercampur dengan cairan ketuban. Dalam beberapa kadaan keberadaaan mekonium dalam cairan amnion merupakan bentuk kematangan traktus digestivus dan bukan merupakan indikasi adanya hipoksia akut.

Pada janin, hepar berperan sebagai tempat penyimpanan glikogen dan zat besi

Vitamin K dalam hepar pada neonatus sangat minimal oelh karena pembentukannya tergantung pada aktivitas bakteri. Defisiensi vitamin K dapat menyebabkan perdarahan neonatus pada beberapa hari pertama pasca persalinan.

Proses glukoneogenesis dari asam amino dan timbunan glukosa yang memadai dalam hepar belum terjadi saat kehidupan neonatus. Lebih lanjut, aktivitas kadar hormon pengatur karbohidrat seperti cortisol, epinefrin dan glukagon juga masih belum efisien. Dengan demikian, hipoglikemia neonatal adalah merupakan keadaan yang sering terjadi bila janin berada pada suhu yang dingin atau malnutrisi.

Proses glukoronidasi pada kehidupan awal neonatus sangat terbatas sehingga bilirubin tak dapat langsung dikonjugasi menjadi empedu. Setelah hemolisis fisiologis pada awal neonatus atau adanya hemolisis patologis pada isoimunisasi nenoatus dapat terjadi kern icterus.

FUNGSI GINJAL

Ginjal terbentuk dari mesonefros, glomerulus terbentuk sampai kehamilan minggu ke 36. Ginjal tidak terlampau diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan janin.

Plasenta, paru dan ginjal maternal dalam keadaan normal akan mengatur keseimbangan air dan elektrolit pada janin. Pembentukan urine dimulai pada minggu 9 – 12. Pada kehamilan 32 minggu, produksi urine mencapai 12 ml/jam, saat aterm 28 ml/jam. Urine janin adalah komponen utama dari cairan amnion.

SISTEM IMUNOLOGI

Pada awal kehamilan kapasitas janin untuk menghasilkan antibodi terhadap antigen maternal atau invasi bakteri sangat buruk. Respon imunologi pada janin diperkirakan mulai terjadi sejak minggu ke 20

Respon janin dibantu dengan transfer antibodi maternal dalam bentuk perlindungan pasif yang menetap sampai beberapa saat pasca persalinan.

Terdapat 3 jenis leukosit yang berada dalam darah: granulosit – monosit dan limfosit

Granulosit : granulosit eosinofilik – basofilik dan neutrofilik

Limfosit : T-cells [derivat dari thymus] dan B-cells [derivat dari “Bone Marrow”]

Immunoglobulin (Ig) adalah serum globulin yang terdiri dari IgG – IgM – IgA - IgD dan IgE

Pada neonatus, limpa janin mulai menghasilkan IgG dan IgM. Pembentukan IgG semakin meningkat 3 – 4 minggu pasca persalinan.

Perbandingan antara IgG dan IgM penting untuk menentukan ada tidaknya infeksi intra uterin. Kadar serum IgG janin aterm sama dengan kadar maternal oleh karena dapat melewati plasenta. IgG merupakan 90% dari antibodi serum jain yang berasal dari ibu. IgM terutama berasal dari janin sehingga dapat digunakan untuk menentukan adanya infeksi intrauterin.

ENDOKRIN

Thyroid adalah kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada tubuh janin.

Pancreas terbentuk pada minggu ke 12 dan insulin dihasilkan oleh sel B pankreas. Insulin maternal tidak dapat melewati plasenta sehingga janin harus membentuk insulin sendiri untuk kepentingan metabolisme glukosa.

Semua hormon pertumbuhan yang disintesa kelenjar hipofise anterior terdapat pada janin, namun peranan sebenarnya dari hormon protein pada kehidupan janin belum diketahui dengan pasti.

Kortek adrenal janin adalah organ endokrin aktif yang memproduksi hormon steroid dalam jumlah besar. Atrofi kelenjar adrenal seperti yang terjadi pada janin anensepali dapat menyebabkan kehamilan postmatur.

Janin memproduksi TSH – thyroid stimulating hormon sejak minggu ke 14 yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 .

Rujukan

  1. DeCherney AH. Nathan L : Current Obstetrics and Gynecologic, Diagnosis and Treatment McGraw – Hill Companies , 2003.
  2. Harris R, Andrews T: Prenatal screening for Down’s syndrome Arch Dis Child ;63-705, 1988.
  3. Jafee RB: Fetoplacental endocrine and metabolic physiology. Clin Perinatol 10-669, 1983.
  4. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
  5. Wald NJ, Cuckle HS, Nanchahal K: Amniotic fluid acetylcholinesterase measurement in the prenatal diagnosis of open neural tube defects. Second report of the Collaborative Acetylcholinesterase study. Prenat Diagn;9-813, 1989.

Kamis, 23 Juli 2009

PERSALINAN ABNORMAL

PENDAHULUAN

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan persalinan abnormal maka harus difahami terlebih dulu proses persalinan normal.

Persalinan normal adalah peristiwa adanya kontraksi uterus yang disertai dengan kemajuan proses dilatasi dan pendataran servik.

Persalinan abnormal ( distosia ) adalah persalinan yang berjalan tidak normal. Seringkali pula disebut sebagai partus lama, partus tak maju , disfungsi persalinan atau disproporsi sepalo pelvik (CPD )

Berdasarkan hasil penelitian oleh FRIEDMAN 1 , persalinan dibagi menjadi 3 stadium :

  1. Persalinan kala I , berawal sejak adanya kontraksi uterus yang teratur sampai dilatasi servik lengkap. Terbagi menjadi 2 fase : fase laten ( dilatasi sampai dengan 3 – 4 cm ) dan fase aktif ( dilatasi servik 4 cm sampai lengkap ). Fase aktif dibagi lagi menjadi 3 subfase yaitu fase akselerasi, fase dilatasi maksimal dan fase deselerasi.
  2. Persalinan kala II, sejak dilatasi servik lengkap sampai anak lahir
  3. Persalinan kala III, kala persalinan plasenta

clip_image002

Warna hijau : dilatasi servik. Warna merah : desensus bagian terendah janin

JENIS PERSALINAN ABNORMAL :

INDIKASI

Nulipara

Multipara

Fase Laten Memanjang

> 20 jam

> 14 jam

Kala II rata-rata

50 menit

20 menit

Kala II memanjang tanpa (dengan) anestesi epidural

> 2 jam (>3 jam)

>1 jam (>2 jam)

Protracted dilation

<1.2cm / jam

<1.5cm/jam>

Protracted descent

<1>

<2>

Arrest of dilation*

<2>

<2>

Arrest of descent*

<2>

<1>

Kala II memanjang

> 30 menit

>30 menit

* Kontraksi uterus adekwat = 200 Montevideo Unit per 10 menit selama 2 jam.

* Secara klinis kriteria kontraksi uterus yang adekwat :

  1. Fundal dominan
  2. Berlangsung 2 – 3 kali dalam waktu 10 menit
  3. Masing-masing his berlangsung sekitar 40 detik
  4. Terdapat fase relaksasi yang memadai
  5. Intensitas kontraksi normal ( ~ 200 MVU )

Diagnosa persalinan abnormal ditegakkan bila terdapat penyimpangan dari kurve persalinan yang normal.

Perlu diingat bahwa :

  1. Diagnosa persalinan abnormal yang terjadi pada fase laten sering disebabkan oleh kesalahan dalam menentukan saat inpartu.
  2. Dewasa ini terdapat kontroversi mengenai aplikasi kurve persalinan FRIEDMAN. 2,3,4,5

Secara umum, persalinan abnormal adalah merupakan akibat dari beberapa faktor berikut :

  1. Power ( kontraksi uterus ) ; pada kala II, selain gangguan kontraksi uterus juga dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan meneran.
  2. Passage ( jalan lahir ) , jalan lahir keras ( tulang panggul ) atau jalan lahir lunak ( organ sekitar jalan lahir )
  3. Passanger ( janin ) , besar janin, letak, posisi dan presentasi janin.

PATOFISIOLOGI

Fase laten memanjang dapat disebabkan akibat oversedasi atau menegakkan diagnosa inpartu terlampau dini dimana masih belum terdapat dilatasi dan pendataran servik.

Diagnosa adanya hambatan atau berhentinya kemajuan persalinan pada fase aktif lebih mudah diotegakkan dan umumnya disebabkan oleh faktor 3 P

P yang pertama , komponen power , frekuensi kontraksi uterus mungkin memadai namun intensitas nya tidak memadai. Adanya gangguan hantaran saraf untuk terjadinya kontraksi uterus misalnya adanya jaringan parut pada bekas sectio caesar, miomektomi atau gangguan hantaran saraf lain dapat menyebabkan kontraksi uterus berlangsung secara tidak efektif. Apapun penyebabnya, gangguan ini akan menyebabkan kelainan kemajuan dilatasi dan pendataran sehingga keadaan ini seringkali disebut sebagai distosia fungsionalis. Kekuatan kontraksi uterus dapat diukur secara langsung dengan menggunakan kateter pengukur tekanan intrauterine dan kekuatan kontraksi uterus dinayatakan dalam nilai MONTEVIDEO UNIT. Nilai kekuatan kontraksi uterus yang adekwat adalah 200 MVU selama periode kontraksi 10 menit. Diagnosa arrest of dilatation hanya bisa ditegakkan bila persalinan sudah dalam fase aktif dan tidak terdapat kemajuan selama 2 jam serta berlangsung dengan kontraksi uterus yang adekwat ( > 200 MVU ). 6

P yang kedua, adalah passage ( atau kapasitas panggul ) , kelainan pada kapasitas panggul (kelainan bentuk, luas pelvik ) dapat menyebabkan persalinan abnormal. Baik janin maupun kapasitas panggul dapat menyebabkan persalinan abnormal akibat adanya obstruksi mekanis sehingga seringkali dinamakan dengan distosia mekanis. Harus pula diingat bahwa selain tulang panggul , organ sekitar jalan lahir dapat pula menyebabkan hambatan persalinan ( soft tissue dystocia akibat vesica urinaria atau rectum yang penuh )

P yang ketiga, adalah passanger (janin ) , kelainan besar dan bentuk janin serta kelainan letak, presentasi dan posisi janin dapat menyebabkan hambatan kemajuan persalinan.

ANGKA KEJADIAN

Dari semua persalinan presentasi kepala, 8 – 11% akan mengalami gangguan pada persalinan kala I.

Persalinan sectio caesar atas indikasi distosia adalah sekitar 60%

MORTALITAS DAN MORBIDITAS

Morbiditas dan mortalitas ibu dan anak meningkat pada kasus persalinan abnormal. Hal ini lebih merupakan akibat dari hubungan akibat-akibat dibandingkan hubungan sebab-akibat. Meskipun demikian, identifikasi persalinan abnormal dan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat akan menurunkan resiko tersebut.

ABNORMALITAS PERSALINAN KALA I FASE LATEN

Pemanjangan persalinan fase laten jarang sekali terjadi dan umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam menegakkan diagnosa inpartu.

Diagnosa pemanjangan fase laten ditegakkan bila pada nulipara batas 20 jam atau pada multipara batas 14 jam dilampaui.

Etiologi :

  1. Kontraksi uterus hipertonik
  2. Pemberian sedatif yang terlampau dini dan berlebihan
  3. Kontraksi uterus hipotonik

Identifikasi keadaan etiologi pemanjangan fase laten umumnya tidak sulit dan dapat dilakukan dengan melakukan palpasi untuk menentukan kualitas kontraksi uterus.

Outcome persalinan untuk ibu dan anak umumnya baik

PENATALAKSANAAN :

  • Tergantung pada etiologi
  • Pemanjangan fase laten akibat pemberian sedasi atau analgesik yang berlebihan dan terlampau dini akan berakhir setelah efek obat mereda
  • Kontraksi uterus hipertonik diatasi dengan istirahat dan diberikan terapi sedatif dan analgesik
  • Kontraksi uterus hipotonik diatasi dengan akselerasi persalinan dengan infus oksitosin.

ABNORMALITAS PERSALINAN KALA I FASE AKTIF

clip_image003

Garis padat : kurve normal dan garis putus-putus : kurve abnormal

Pada multipara, kecepatan dilatasi servik 1.5 cm / jam dan pada nulipara 1.2 cm / jam

Etiologi :

  • CPD
  • Kelainan letak / posisi
  • Kontraksi uterus hipotonik

Penatalaksanaan : Sesuai dengan etiologi

Rujukan

  1. Friedman EA. Primigravid labor; a graphicostatistical analysis. Obstet Gynecol. Dec 1955;6(6):567-89. [Medline].
  2. Zhang J, Troendle JF, Yancey MK. Reassessing the labor curve in nulliparous women. Am J Obstet Gynecol. Oct 2002;187(4):824-8. [Medline].
  3. Rouse DJ, Owen J, Hauth JC. Criteria for failed labor induction: prospective evaluation of a standardized protocol. Obstet Gynecol. Nov 2000;96(5 Pt 1):671-7. [Medline].
  4. Cheng YW, Hopkins LM, Caughey AB. How long is too long: Does a prolonged second stage of labor in nulliparous women affect maternal and neonatal outcomes?. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004;191(3):933-8. [Medline].
  5. Rinehart BK, Terrone DA, Hudson C, et al. Lack of utility of standard labor curves in the prediction of progression during labor induction. Am J Obstet Gynecol. Jun 2000;182(6):1520-6. [Medline].
  6. Cunningham FG, Leveno KL, Bloom SL, et al. Abnormal labor. In: Williams Obstetrics. 22nd ed. Appleton & Lange; 2007:415-434.

Distosia akibat kelainan pada Janin

PENDAHULUAN

Gangguan terhadap jalannya proses persalinan dapat disebabkan oleh kelainan presentasi, posisi dan perkembangan janin intrauterin.

Diagnosa distosia akibat janin bukan hanya disebabkan oleh janin dengan ukuran yang besar, janin dengan ukuran normal namun dengan kelainan pada presentasi intra uterin tidak jarang menyebabkan gangguan proses persalinan.

UKURAN JANIN PADA DISPROPORSI FETOPELVIK

Pada edisi awal dari Williams Obstetrics, yang dimaksud dengan berat badan berlebihan pada janin adalah bila berat badan mencapai 5000 gram. Pada edisi ke 7 sampai ke 13 kriteria berat badan janin berlebih adalah 4500 gram.

Parkland Hospital : 2/3 neonatus yang dilahirkan perabdominal (SC) pasca persalinan ekstraksi forsep yang gagal memiliki berat badan 3700 gram.

Disproporsi fetopelvik bukan hanya disebabkan oleh berat badan janin yang besar, kelainan letak seperti posisio oksipitalis posterior, presentasi muka , presentasi dahi juga dapat menyebabkan hambatan persalinan.

Penilaian Ukuran Kepala Janin

Upaya untuk meramalkan adanya Disproporsi Fetopelvik - FPD secara klinis dan radiologis atas dasar ukuran kepala janin tidak memberi hasil memuaskan.

Thorp dkk (1993) melakukan evaluasi terhadap maneuver Mueller- Hillis dan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara distosia dengan kegagalan desensus kepala janin.

Ferguson dkk ( 1998) menyatakan bahwa sensitivitas dalam meramalkan adanya CPD dengan menggunakan index fetopelvic ( yang dikemukakan oleh Thurnau dkk 1991) sangat kurang.

Sampai saat ini tidak ada metode terbaik untuk meramalkan secara akurat adanya FPD berdasarkan ukuran kepala janin.

PRESENTASI MUKA

Merupakan kelainan deflkeksi kepala. Pada presentasi muka terjadi hiperekstensi maksimum kepala sehingga oksiput menempel dengan punggung janin dengan demikian maka yang merupakan bagian terendah janin adalah mentum.

Dalam kaitannya dengan simfisis pubis, maka presentasi muka dapat terjadi dengan mento anterior atau mento posterior.

Pada janin aterm dengan presentasi muka mento-posterior, proses persalinan pervaginam terganggu akibat bregma (dahi) tertahan oleh bagian belakang simfisis pubis. Dalam keadaan ini, gerakan fleksi kepala agar persalinan pervaginam dapat berlangsung terhalang, maka persalinan muka spontan per vaginam tidak mungkin terjadi.

clip_image002

Presentasi Muka

Mentoposterior, dagu berada dibagian posterior .

Persalinan pervaginam hanya mungkin berlangsung bila dagu berputar ke anterior.

Bila dagu berada di anterior, persalinan kepala per vaginam masih dapat berlangsung pervaginam melalui gerakan fleksi kepala.

Pada sejumlah kasus presentasi muka dagu posterior, dagu akan berputar spontan ke anterior pada persalinan lanjut.

Pada tahun 1995 sampai 1999 , angka kejadian presentasi muka di Parkland Hospital sekitar 1 : 2000 persalinan.

clip_image004

Pemeriksaan Radiologis pada presentasi muka

Diagnosis:

Diagnosa presentasi muka ditegakkan melalui pemeriksaan VT dengan meraba adanya mulut – hidung – tulang rahang atas dan “orbital ridges”.

Kadang perlu dibedakan dengan presentasi bokong dimana dapat teraba adanya anus dan tuber-ischiadica yang sering keliru dengan mulut dan tulang rahang atas.

Pemeriksaan radiologis dapat menampakkan gambaran hiperekstensi kepala yang jelas dan tulang muka diatas pintu atas panggul.

Etiologi :

  • Tumor leher janin
  • Lilitan talipusat
  • Janin anensepalus
  • Kesempitan panggul dengan janin yang besar
  • Grande multipara dengan perut gantung (‘pendulous abdomen’)

Mekanisme persalinan pada presentasi muka:

Presentasi muka jarang terjadi bila kepala masih diatas Pintu Atas Panggul.

Umumnya keadaan diawali dengan presentasi dahi yang kemudian pada proses desensus berubah menjadi presentasi muka .

Mekanisme persalinan terdiri dari densensus – putar paksi dalam – fleksi – ekstensi dan putar paksi luar.

clip_image006

Mekanisme persalinan pada presentasi muka mentoposterior.

Terjadi putar paksi dalam sehingga dagu berputar keanterior dan lahir pervaginam

Tujuan Putar Paksi Dalam adalah agar dagu berada dibelakang simfisis pubis oleh karena hanya pada posisi ini kepala janin dapat melewati perineum melalui gerakan fleksi.

Setelah Putar Paksi Dalam dagu kedepan selesai dan tahapan desensus berikutnya berlangsung, maka dagu dan mulut nampak di vulva dan persalinan kepala berlangsung melalui gerakan fleksi.

Setelah kepala lahir, oksiput akan mendekati anus dan dagu berputar seperti saat memasuki Pintu Atas Panggul. Persalinan bahu berlangsung seperti pada presentasi belakang kepala.

Pada presentasi muka, edema akan merubah bentuk wajah anak. Molase juga terjadi dan menyebabkan bertambah panjangnya diameter occipitomentalis ,

Penatalaksanaan:

Bila ukuran panggul normal dan kemajuan proses persalinan berlangsung secara normal, persalinan pervaginam pada presentasi muka dapat berlangsung dengan wajar.

Observasi Detik Jantung Janin dilakukan dengan monitor eksternal.

Presentasi muka sering terjadi pada panggul sempit, maka terminasi kehamilan dengan SC sering terpaksa harus dilakukan.

Usaha untuk merubah presentasi muka menjadi presentasi belakang kepala , pemutaran posisi dagu posterior menjadi dagu anterior secara manual atau dengan cunam, serta dengan versi ekstraksi tidak boleh dikerjakan pada masa obstetri modern.

PRESENTASI DAHI

Merupakan kelainan letak defleksi dan presentasi yang sangat jarang.

Diagnosa ditegakkan bila VT pada PAP teraba orbital ridge dan ubun-ubun besar.

clip_image008

Presentasi dahi

Pada gambar diatas, terlihat bahwa kepala berada diantara posisi fleksi sempurna dengan ekstensi sempurna.

Kecuali pada kepala yang kecil atau panggul yang sangat luas, engagemen kepala yang diikuti dengan persalinam pervaginam tak mungkin terjadi.

Diagnosis

Presentasi dapat dikenali melalui pemeriksaan palpasi abdomen dimana dagu atau oksiput dapat diraba dengan mudah.

Diagnosa dipastikan dengan VT dan teraba sutura frontalis – ubun-ubun besar – orbital ridges – mata atau pangkal hidung.

Etiologi

Etiologi sama dengan penyebab presentasi muka.

Presentasi dahi sering merupakan keadaan “temporer” dan dalam perjalanan persalinan selanjutnya dapat berubah secara spontan menjadi presentasi muka atau presentasi belakang kepala.

Mekanisme persalinan

Pada janin yang sangat kecil kecil atau panggul yang luas persalinan pervaginam biasanya berlangsung dengan mudah. Pada janin aterm dengan ukuran normal, persalinan pervaginam sulit berlangsung oleh karena engagemen tidak dapat terjadi sampai terjadinya molase hebat yang memperpendek diamater occipitomentalis atau sampai terjadinya fleksi sempurna atau ekstensi maksimum menjadi presentasi muka.

Persalinan pervaginam pada presentasi dahi yang persisten dapat berlangsung bila terdapat molase berlebihan sehingga bentuk kepala berubah. Molase berlebihan akan menyebabkan caput didaerah dahi sehingga palpasi dahi menjadi sulit.

Pada presentasi dahi yang transien, progonosis tergantung pada presentasi akhir. Bila tetap pada presentasi dahi, prognosis persalinan pervaginam sangat buruk kecuali bila janin kecil atau jalan lahir sangat luas.

Prinsip penatalaksanaan sama dengan pada presentasi muka

LETAK LINTANG

Sumbu panjang janin tegak lurus dengan sumbu panjang tubuh ibu.

Kadang-kadang sudut yang ada tidak tegak lurus sehingga terjadi letak oblique yang sering bersifat sementara oleh karena akan berubah menjadi presentasi kepala atau presentasi bokong (“unstable lie”)

Pada letak lintang, bahu biasanya berada diatas Pintu Atas Panggul dengan bokong dan kepala berada pada fossa iliaca

Deskripsi letak lintang : akromial kiri atau kanan dan dorso-anterior atau dorso-posterior

Angka kejadian 1 : 300 persalinan tunggal (0.3%)

clip_image011

Palpasi abdomen pada letak lintang .

Posisi akromion kanan dorso anterior

A. Leopold I , B Leopold II C. Leopold III dan D Leopold IV

Diagnosis

Diagnosa biasanya mudah dan kadang-kadang hanya melalui inspeksi dimana abdomen terlihat melebar dengan fundus uteri sedikit diatas umbilikus.

Tidak ada kutub janin yang teraba dibagian fundus dan kepala teraba di fossa iliaca.

Pada dorso-posterior, teraba bagian kecil pada palpasi dinding abdomen.

VT pada persalinan dini dapat meraba tulang rusuk, bila pembukaan servik sudah bertambah maka dapat teraba skapula dan klavikula. Arah penutupan aksila menunjukkan arah bahu dan lokasi kepala.

Pada persalinan lanjut, bahu terperangkap dalam jalan lahir dan seringkali disertai prolapsus lengan dan keadaan ini disebut letak lintang kasep - neglected transverse lie.

Etiologi

  1. Grandemultipara akibat dinding abdomen yang kendor
  2. Janin Preterm
  3. Plasenta previa
  4. Kelainan anatomis uterus
  5. Hidramnion
  6. Panggul sempit

Wanita yang sudah mengalami persalinan > 4 kali dengan bayi aterm memiliki kemungkinan mengalami kehamilan dengan presentasi lintang 10 kali lipat nulipara.

Kekendoran otot abdomen yang mengakibatkan perut gantung (“pendulous abdomen”) dapat menyebabkan uterus jatuh kedepan sehingga sumbu panjang janin menjauh dari sumbu jalan lahir.

Letak plasenta pada Segmen Bawah Rahim dan kesempitan panggul dapat menyebabkan gangguan akomodasi bagian terendah janin sehinga terjadi letak lintang.

Mekanisme persalinan

Persalinan spontan pervaginam pada janin aterm normal dengan presentasi lintang tidak mungkin berlangsung.

Setelah selaput ketuban pecah, lengan janin memasuki panggul dan menyebabkan prolapsus lengan.

Kontraksi uterus selanjutnya akan menyebabkan bahu masuk kedalam SBR dan menyebabkan regangan SBR berlebihan yang dapat berakhir dengan ruptura uterus (“neglected transverse lie”)

Bila janin kecil (kurang dari 800 gram) dan panggul cukup luas, persalinan pervaginam dapat berlangsung bila his yang cukup kuat untuk melipat tubuh janin agar melewati PAP dan persalinan berlangsung dengan mekanisme conduplicatio corporae.

Penatalaksanaan

Presentasi lintang pada awal persalinan adalah indikasi untuk melakukan SC.

Pada minggu ke 39 sebelum persalinan atau pada awal persalinan, bila selaput ketuban masih utuh dapat dilakukan tindakan versi luar pada presentasi lintang tanpa disertai komplikasi lain .

Pada saat melakukan SC, akibat terperangkapnya tubuh janin dalam SBR maka insisi uterus lebih baik dilakukan secara vertikal.

clip_image013

Letak lintang kasep (“neglected transverse lie”)

Terdapat lingkaran muskular (pathological retraction ring-Bandl” ) diatas SBR yang sudah sangat menipis.

Tekanan His disebarkan secara sentripetal pada dan diatas lingkaran retraksi patologis sehingga regangan terus bertambah dan menyebabkan robekan pada SBR.

PRESENTASI RANGKAP

Prolapsus lengan disamping bagian terendah janin.

Angka kejadian dan Etiologi:

Angka kejadian 1 : 700 persalinan

Keadaan ini disebabkan oleh hambatan penutupan PAP oleh kepala janin secara sempurna antara lain seperti yang terjadi pada persalinan preterm.

Prognosis dan Penatalaksanaan

Angka kematian perinatal meningkat sebagai konsekuensi dari persalinan preterm, prolapsus talipusat dan prosedur obstetrik yang traumatik.

Pada sebagian besar kasus, penatalaksanaan kasus adalah ekspektatif oleh karena jarang mengganggu jalannya persalinan dan umumnya tangan janin secara reflektoar akan ditarik sehingga tidak lagi mengganggu jalannya persalinan.

Tindakan yang bisa dikerjakan adalah dengan mereposisi tangan dan menurunkan kepala kedalam jalan lahir secara bersamaan.

Tebes dkk (1999) melaporkan adanya janin yang mengalami nekrosis iskemik pada tangan yang selanjutnya sampai memerlukan amputasi.

clip_image015

Presentasi rangkap. Tangan kiri berada didepan bagian terendah janin dan biasanya desensus kepala dapat berlangsung normal

Rujukan

  1. Cunningham FG et al : Dystocia-Abnormal Labor , Williams Obstetrics 22nd ed McGraw Hill, 2005
  2. Ferguson JE, Newberry YG, DeAngelis GA et al: The fetal-pelvic index has minimal utility in predicting fetal-pelvic disproportion.Am J Obstet Gynecol 179;1186, 1998